BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pemilihan umum
disebut juga dengan “Political Market”
artinya bahwa pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu/masyarakat
untuk berinteraksi melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara
peserta pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki
hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang
meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio
(radio) maupun audio visual (televisi) serta media lainnya seperti spanduk,
pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby
yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform, asas, ideologi serta
janji-janji politik lainya guna meyakinkan pemilih sehingga pada pencoblosan
dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi
peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun
eksekutif.
Menurut
penjelasan UU No.5 tahun 1996, tentang pemilihan umum, yang masih berlaku
sampai tahun pemilu 1997, disebutkan tujuan pemilu adalah :
“dalam
mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita revolusi
Kemerdekaan RI Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam pancasila
dan UUD 1945, maka penyusunan tata kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan
pemilihan umum. Dengan demikian, diadakan pemilihan umum tidak sekedar memilih
wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/ perwakilan, dan juga
tidak memilih wakil rakyat untuk menyusun negara baru, tetapi suatu pemilihan
wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawa hati nurani rakyat dalam
melanjutkan perjuangan, mempertahankan dan mengembangkan NKRI yang bersumber
pada Proklamasi 17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban amanat penderitaan
rakyat. Pemilihan
Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi
jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai
dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti
proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata
'pemilihan' lebih sering digunakan.
Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi
rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa
rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu
yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD
I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat
sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang
populer sehingga punya elektabilitas yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini
pula yang mendorong banyak artis (sinetron, lawak, penyanyi) yang tergiur untuk
bergabung ke dalam sebuah partai politik.
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pada
hakekatnya merupakan konkritisasi dari perwujudan kedaulatan rakyat dalam
rangka partisipasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Secara
tegas (explicit)ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945
menyebutkan,”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang
– Undang Dasar”. Penggunaan hak pilih (aktif) oleh setiap warga negara
Indonesia anggota – anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) juga sebagai aplikasi hak politik warga negara, sebagaimana ditentukan
dalam pasal 28 Undang – Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang – undang”. Kemerdekaan atau kebebasan
mengeluarkan pikiran / menyatakan pendapat merupakan pilar mendasar dalam
pemerintahan yang demokratis, dan dianggap sebagai asas fundamental dalam
pemilihan umum.
Demokrasi yang dianut di Indonesia adalah Demokrasi
Pancasila yang mencakup prinsip – prinsip pokok demokrasi konstitusional yang
berdasarkan rule of law. Pelaksanaan Pemilihan Umum yang bebas untuk
mengakomodir hak – hak politik masyarakat, merupakan salah satu syarat utama
pemerintahan yang demokratis berdasarkan rule of law. Secara
lengkap (implicit), dalam South – East Asian
Conference of Jurists yang diselenggarakan di Bangkok pada tanggal 15 – 19
Pebruari 1965, menyebutkan syarat – syarat dasar untuk
terselenggaranya pemerintahan yang demokratis
dibawah rule of law, sebagai berikut:
1)
Perlindungan
konstitusionil, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari menjamin hak – hak
individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan
atas hak – hak yang dijamin.
2)
Badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals).
3)
Pemilihan
umum yang bebas.
4)
Kebebasan
untuk menyatakan pendapat.
5)
Kebebasan
untuk berserikat / berorganisasi dan beroposisi.
6)
Pendidikan
kewarganegaraan (civic education)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Macam Sistem Pemilu ?
2. Bagaimana
Penentuan Jumlah Kursi Dalam Partai Politik ?
3. Berapa
Jumlah Partai Politik Di Indonesia ?
4. Bagaimana
Pemilu Sistem Proporsional ?
5. Bagaimana
Penentuan Anggota Legislatif ?
6. Bagaimana
Pemungutan Suara ?
7. Bagaimana
Penghitungan Surat Suara ?
8. Bagaimana
Sistem Pemilu Lanjutan dan Pemilu Lanjutan ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk
Mengetahui Bagaimana Macam Sistem Pemilu.
2. Untuk
Mengetahui Bagaimana Penentuan Jumlah Kursi Dalam Partai Politik.
3. Untuk
Mengetahui Berapa Jumlah Partai Politik Di Indonesia.
4. Untuk
Mengetahui Bagaimana Pemilu Sistem Proporsional.
5. Untuk
Mengetahui Bagaimana Penentuan Anggota Legislatif.
6. Untuk
Mengetahui Bagaimana Pemungutan Suara.
7. Untuk
Mengetahui Bagaimana Penghitungan Surat Suara.
8. Untuk
Mengetahui Bagaimana Sistem Pemilu Lanjutan dan pemilu susulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam-Macam Sistem Pemilu
Dalam ilmu politik dikenal
bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua
prinsip pokok, yaitu :
1. Single-Member Constituency (satu
daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik).
2.
Multi-Member
Konstituency(satu daerah pemilihan memilih beberapa
wakil, biasanya dinamakan proportional representation atau perwakilan
berimbang).
Secara umum sistem pemilihan umum
dapat diklasifikasikan dalam dua sistem, yaitu:
1. Sistem
Distrik
Sistem ini
merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan
geografis (yang biasanya disebut distrik karna kecilnya daerah yang diliputi)
mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Sistem pemilihan ini
dipakai di inggris, kanada, amerika serikat dan india.
Sistem “Single-Member Constituency” mempunyai beberapa kelemahan:
a. Sistem
ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas,
apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
b.
Sistem ini kurang representatif dalam
arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang
telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak
diperhitungkan sama sekali, dan kalau ada beberapa partai yang mengadu
kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal
ini dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan.
Diamping
kelemahan-kelemahan tersebut ada banyak segi positifnya, yang oleh negara yang
menganut sistem ini dianggap lebih menguntungkan dari pada sistem pemilihan
lain:
a. Karena
kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik,
sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian, dia
akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula,
kedudukannya tetrhadap partainya akan lebih bebas, oleh karna dalam pemilihan
semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan faktor yang
penting.
b. Sistem
ini lebih mendorong proses integrasi partai-partai politik karena kursi yang
diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong
partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan
kerja sama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat sekedar
dibendung, sistem ini mendorong proses penyederhanaan partai tanpa diadakan
paksaan. Maurice Duverger berpendapat bahwa dalam proses seperti inggris dan
amerika, sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem Dwipartai.
c. Berkurangnya
partai dan meningkatnya kerja sama antara partai-partai mempermudah
terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional.
d. Sistem
ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
2. Sistem
Perwakilan Berimbang
Sistem ini dimaksud untuk
menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa
jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai
dengan jumlah suara yang diperolehnya.
Dalam sistem ini ada beberapa
kelemahan :
a. Sistem
ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini
tidak menjurus proses integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat,
mereka lebih cenderung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan
kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya
dianggap bahwa sistem ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai.
b. Wakil
yang terpilih merasa dirinya lebih terikat pada partai dan kurang merasakan
loyalitas pada daerah yang telah memilihnya. Hal ini disebabkan karena dianggap
bahwa dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol peranannya dari pada
kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai.
c. Banyaknya
partai mempersulit terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena umumnya
harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih. Disamping
kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu keuntungan besar, yaitu bahwa dia
bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara turut diperhitungkan dan
tidak ada suara yang hilang. Golongan-golongan bagaimana kecilpun dapat menempatkan
wakilnya dalam badan perwakilan rakyat. Masyarakat yang heterogen sifatnya,
umumnya lebih tertarik pada sistem ini, oleh karena dianggap lebih
menguntungkan bagi masing-masing golongan.[1]
B. Kelemahan
Sistem Pemilu
1. Kelemahan
Sistem Pemilu yang Memberikan Peluang Money Politic
Money politic (politik uang)
merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi
keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu,
padahal praktek money politic merupakan
praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.
Lemahnya Undang-Undang dalam
memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat praktek money
politic ini menjamur luas di masyarakat. Maraknya praktek money politic ini
disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya
praktek tersebut. Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde
baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem
pemilu yang benar-benar anti money politic.
Praktek money politic ini sungguh
misterius karena sulitnya mencari data untuk membuktikan sumber praktek
tersebut, namun ironisnya praktek money
politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya
Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda
dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.
Hambatan terbesar dalam pelaksanaan
pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di
kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan
uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam
mencapai kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus
masalah Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi
(MK) karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu
membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan
penanganan yang lebih serius.
2.
Solusi Mengatasi Money Politic
Kita
sebagai masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mengkaji keputusan Mahkamah
Konstitusi dalam menyelesaikan kasus-kasus pemillu agar tidak menyimpang dari
peraturan hukum yang berlaku. Calon-calon pada pemilu juga harus komitmen untuk
benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan apabila terbukti
melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja.
Bentuk
Undang-Undang yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya money politic dengan
penanganan serius untuk memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan khusus
independen untuk mengawasai calon-calon pemilu agar menaati peraturan terutama
untuk tidak melakukan money politic.
Sebaiknya
secara transparan dikemukan kepada publik sumber pendanaan kampaye oleh
pihak-pihak yang mendanai tersebut. Transparan pula mengungkapkan tujuan
mengapa mendanai suatu partai atau perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh
hukum mengenai biaya kampanye agar tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga
terhindar dari tindak pencarian pendanaan yang melanggar Undang-Undang.
Misalnya, anggota legislatif yang terpilih tersebut membuat peraturan
Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang
mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
Sadarilah
apabila kita salam memilih pemimpin akan berakibat fatal karena dapat
menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu
yang bersih dan bebas money politic kepada masyarakat luas agar tingkat
partisipasi masyarakat dalam demokrasi secara langsung meningkat.
Perlu
keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan
penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih. Hal
tersebut dapat membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati
nurani tanpa tergiur dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan
demokrasi. [2]
C. Penentuan Jumlah Kursi dalam Partai
Politik
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 8/2012)
sudah menetapkan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPR RI yang
tercantum dalam lampiran undang-undang tersebut. Sementara penentuan alokasi
kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
dilakukan oleh KPU.
Dalam
menentukan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk masing-masing lembaga
perwakilan agar dapat proporsional, para ahli merumuskan beberapa prinsip yang
perlu diikuti dalam melakukan penghitungan alokasi kursi dan pembentukand
daerah pemilihan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: kesetaraan populasi,
integralitas wilayah, kesinambungan wilayah, pencakupan wilayah (coterminus),
kohesivitas penduduk, dan perlindungan petahana (preserving of incumbent).
Prinsip
kesetaraan populasi adalah harga kursi dibanding penduduk kurang lebih sama
antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain.
Prinsip
integralitas wilayah berarti satu daerah pemilihan harus integral secara
geografis, yang sejalan dengan prinsip kesinambungan wilayah, yaitu suatu
daerah pemilihan harus utuh dan saling berhubungan secara geografis.
Prinsip
pencakupan wilayah atau coterminus maksudnya adalah suatu daerah
pemilihan lembaga perwakilan tingkat bawah harus menjadi bagian utuh dari
daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi, atau satu daerah pemilihan
lembaga tingkat bawah tidak boleh berada di dua daerah atau lebih daerah
pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi.
Prinsip
kohesivitas penduduk berarti suatu daerah pemilihan hendaknya dapat menjaga
kesatuan unsur sosial budaya punduduk dan menjaga keutuhan kelompok minoritas.
Kesatuan unsur sosial budaya penting untuk menyatukan kepentingan yang akan
diperjuangkan oleh para wakil di parlemen. Keutuhan kelompok minoritas juga
perlu dijaga agar mereka mendapatkan kepastian untuk memiliki wakil di
parlemen.
Terakhir prinsip
perlindungan petahana, maksudnya suatu daerah pemilihan harus memberi jaminan
kepada petahana untuk bisa berkompetisi dan meraih kursi perwakilan yang
tersedia. Ini penting karena hubungan wakil dengan penduduk yang diwakili perlu
dijaga agar memudahkan penyaluran dan perjuangan kepentingan penduduk yang
diwakili. Prinsip ini jarang dipraktikkan pada pemilu proporsional yang
memiliki banyak kursi di daerah pemilihan, tetapi lazim diterapkan di pemilu
mayoritarian yang memiliki hanya 1 kursi di daerah pemilihan.
Penyusunan daerah pemilihan DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 8/2012,
tidak semata-mata utuk menghilangkan daerah pemilihan yang berkursi lebih dari
12, tetapi juga untuk menyesuaikan dengan perkembangan jumlah penduduk,
perubahan geografi, dan perkembangan wilayah administrasi pemerintahan. Oleh
karena itu penyusunan kembali daerah pemilihan tidak bisa dilakukan hanya
berpijak pada daerah pemilihan yang ada atau yang digunakan dalam pemilu
terakhir. Penyusunan daerah pemilihan harus dimulai dari tahap awal, sedangkan
daerah pemilihan yang ada berlaku sebagai pembanding atau kontrol untuk
memastikan sesuai-tidaknya pembentukan daerah pemilihan baru itu dengan
kehendak undang-undang dan prinsip pemilu pembentukan daerah pemilihan dalam
pemilu demokratis.[3]
D.
Jumlah
Partai Politik Di Indonesia
Sebagai mana telah diuraikan lebih awal, di
negara-negara yang sedang berkembang, terutama bagi negara-negara yang sedang
berjuang melepaskan diri dari penjajahan asing, partai-partai didirikan untuk
memperjuangkan kemerdekaan. Hal yang sama juga dialami dalam sejarah
pergeerakan kemerdekaan Republik Indonesia, yang diawali dengan terbentuknya
organisasi sosial seperti budi utomo 20 mei 1908 oleh para mahasiswa sekolah tinggi
kedokteran (STOVIA) di Jakarta, lalu dikenal sebagai awal kebangkitan
perjuangan bangsa.[4]
Berdasarkan atas Surat Keputusan KPU Nomor
05/KPTS/KPU tahun 2013 tentang Penetapan Parpol Peserta Pemilu 2014, ditetapkan
10 partai politik yang berhak mengikuti ajang pesta demokrasi lima tahunan di
tahun 2014. Dari 34 parpol yang ikut serta, 24 di antaranya gagal lolos
verivikasi KPU, kecuali ditetapkan lain oleh Keputusan Mahkamah Agung (MA),
Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Keputusan Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu). Dari keputusan itu ada 12 partai politik yang lolos
dalam verivikasi pada tahun 2014 yaitu :[5]
1. Partai
Amanat Nasional (PAN)
2. Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
3. Partai
Demokrat (PD)
4. Partai
Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra)
5. Partai
Golongan Karya (Partai Golkar)
6. Partai Hati
Nurani Rakyat (Partai Hanura)
7. Partai
Keadilan Sejahtera (PKS)
8. Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB)
9. Partai
Nasional Demokrat (Partai Nasdem)
10. Partai Persatuan Pembangunan (PPP alias P3)
11. Partai Bulan Bintang (PBB)
12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
E.
Pemilu
Sistem Proporsional
1.
Sistem
perwakilan proposional ( satu daerah pemilihan memilih
beberapa wakil )
Sistem perwakilan proposional ialah
sistem, di mana kursi-kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada
tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan prosentase atau pertimbangan
jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Sistem ini juga disebut
perwakilan berimbang atau multi member constituenty. ada dua macam sitem di
dalam sitem proporsional, yakni ;
a)
list proportional representation : disini partai-partai peserta
pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih
partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
b) the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas
untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kota.
2. Kelebihan dan kelemahan Sistem
Proposional
a) Kelebihan Sistem Proposional
1)
Dianggap
lebih mewakili suara rakyat karena perolehan suara partai sama dengan
persentase kursinya di parlemen.
2)
Setiap
suara dihitung dan tidak ada yang terbuang, hingga partai kecil dan minoritas
bisa mendapat kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Hal ini sangat
mewakili masyarakat heterogen dan pluralis.
b) Kelemahan Sistem Proposional
1)
Berbeda
dengan sistem distrik, sistem proporsional kurang mendukung integrasi partai
politik. Jumlah partai yang terus bertambah menghambat integrasi partai.
2)
Wakil
rakyat kurang akrab dengan pemilihnya, tapi lebih akrab dengan partainya. Hal
ini memberikan kedudukan kuat pada pimpinan partai untuk memilih wakilnya di
parlemen.
3)
Banyaknya
partai yang bersaing menyebabkan kesulitan bagi suatu partai untuk menjadi
mayoritas.[6]
F.
Penentuan
Anggota Legislatif
susunan
keanggotaan badan legislatif pada dasarnya menurut mariam Budiarjo, adalah
beraneka ragam yaitu ada yang jumlahnya mencapai 1300 anggota DPR Unu Sofiet
(kini Rusia), DPR Indonesia berjumlah 560 dan ada yang kecil seperti anggota
DPR Pakistanyaitu sebanyak 150 anggota. Sistem penentuan anggota DPR beraneka
ragam sifatnya yaitu:
1. Turun
temurun (sebagian majelis tinggi Inggris)
2. Ditunjuk
(Senat Kanada)
3. Dipilih,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sistem penentuan atau pemilihan
diatas, berlaku pada pemerintah sosialis atau kerajaan, sedangkan pada negara
modern pada umumnya anggota badan legislatif dipilih melalui pemilihan umum dan
berdasarkan sistem kepartaian. Perwakilan semacam ini bersifat politik.[7]
G.
Pemungutan
Suara
Tempat
pemungutan suara atau TPS adalah tempat pemilih
memberi suara dan mengisi surat suara mereka dalam pemilihan umum.
Karena
pemilihan umum berlangsung dalam rentang waktu satu atau dua hari secara
berkala, seringkali tahunan atau lebih, tempat pemungutan suara biasanya
terletak di fasilitas yang digunakan untuk keperluan lain, seperti sekolah,
gereja, ruang olahraga, kantor pemerintah, atau bahkan tempat tinggal pribadi.
Tempat pemungutan suara dikelola oleh petugas (yang disebut petugas atau panitia
pemungutan suara) yang memantau prosedur pemungutan suara dan membantu pemilih
dalam proses pemilu. TPS ini akan dibuka antara jam tertentu tergantung pada
jenis pemilu, dan kegiatan politik oleh atau atas nama orang atau partai yang
terdapat dalam surat suara biasanya dilarang di tempat pemungutan suara dan
daerah disekitarnya.
Di
dalam tempat pemungutan suara akan terdapat tempat memberikan suara yang
umumnya berupa bilik suara, di mana pemilih bisa memilih calon atau partai
pilihannya secara rahasia. Surat suara yang telah diisi akan dimasukkan ke
dalam kotak suara dengan disaksikan oleh para saksi. Di sejumlah negara maju,
mesin pemungutan suara juga bisa digunakan sebagai pengganti surat suara.
Tempat pemungutan suara ini umumnya berupa struktur sementara atau kabin
portabel, dan akan disingkirkan setelah pemilihan umum selesai[8]
H.
Penghitungan
Ulang Surat Suara
Beberapa
pasal Undang-undang No 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pilkada telah
mengantisipasi sejumlah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadi penghitungan
dan pemungutan suara ulang. Kondisi yang dapat menjadi penyebab penghitungan
ulang surat suara diatur dalam Pasal 103 Ayat (1) UU No 32 Tahun 2004.
Selengkapnya ketentuan tersebut menyatakan, penghitungan ulang surat suara di
TPS dilakukan bila hasil dari penelitian dan pemeriksaan terbukti terdapat satu
atau lebih penyimpangan sebagai berikut:
a. Penghitungan
suara dilakukan secara tertutup;
b. Penghitungan
suara dilakukan di tempat yang kurang penerangan cahaya;
c. Saksi
pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan masyarakat tidak dapat
menyaksikan penghitungan suara secara jelas;
d. Penghitungan
suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan;
dan atau
e.
Terjadi ketidakkonsistenan dalam
menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.
Dengan demikian, jelas bila terjadi
satu atau lebih suatu kondisi sebagaimana tersebut, maka jajaran penyelenggara
pilkada dapat melakukan penghitungan ulang surat suara.
Di samping karena kondisi tersebut,
penghitungan ulang surat suara juga dapat dilakukan bila terjadi perbedaan data
jumlah suara. Ketentuan Pasal 103 Ayat (2) dan (3) secara tegas menyebutkan
bahwa ''penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS bila terjadi
perbedaan data jumlah suara dari TPS''. Kemudian, ''penghitungan ulang surat
suara dilakukan pada tingkat PPK, bila terjadi perbedaan data jumlah suara dari
PPS''. Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU
kabupaten/kota dan KPU provinsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 103 Ayat (4)
tidak dilakukan penghitungan ulang surat suara, namun cukup dilakukan
pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada
satu tingkat di bawahnya.
Pemungutan suara ulang diatur dalam
Pasal 104 dan 105 UU No 32 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 104 Ayat (1)
menyebutkan, pemungutan suara di TPS dapat diulang bila terjadi kerusuhan yang
mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan
suara tidak dapat dilakukan. Berikutnya ketentuan Pasal 105 Ayat (1)
menyatakan, pemungutan suara di TPS dapat diulang bila dari hasil penelitian
dan pemeriksaan panitia pengawas kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih
dari keadaan sebagai berikut:
a. Pembukaan
kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan
menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b. Petugas
KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama
atau alamat pada surat suara yang sudah digunakan;
c. Lebih
dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang
sama atau TPS yang berbeda;
d. Petugas
KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih
sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
e. Lebih
dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan
memberikan suara pada TPS.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 105,
penghitungan suara dan pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
103 dan Pasal 104 diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh
hari sesudah hari pemungutan suara.[9]
I.
Pemilu
Lanjutan dan Pemilu Susulan
Pemilu lanjutan dan pemilu susulan dilakukan apabila
terjadi hal-hal yang menyebabkan proses pemilu terhambat.pemilu lanjutan
dilakukan apabila di sebagian atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan
keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya. Yang mengakibatkan sebagian
tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Pelaksanaan pemilu
lanjutan dimulai dari tahap pelaksanaan pemilu yang terhenti.
Sementara pemilu susulan dilakukan apabila disuatu
daerah terjadi kerusuhan, hgangguan keamanan,bencana alam atau gangguan lainnya
yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat
dilaksanakan.pelaksanaan pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan
penyelenggaraan pemilu.
Pemilu lanjutan dan pemilu susulan dapat
dilaksanakan apabila KPU telahmenetapkan penundaan pelaksanaan pemilu.
Penetapan penundaan pelaksanaan pemilu dilakukan oleh:[10]
a. KPU
kabupaten / kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan pemilu
b. Meliputi
satu atau beberapa desa/kelurahan
c. KPU
kabupaten/kotaatas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan pemilu.
d. Meliputi
satu atau beberapa kecamatan
e. KPU
provinsi atas usul KPU kabupaten/kota apabila penundaan
f. Pelaksanaan
pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota
g.
KPU atas usul KPU provinsi apabila
penundaan pelaksanaan pemilu meliputi satu atau beberapa provinsi.
Jika pemilu tidak dapat
dilaksanakan di 40% jumlah provinsi atau 50% dari jumlah pemilih terdaftar secara
nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan pemilu
lanjutan atau pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tatacara dan waktu pelaksanaan pemilu lanjutan dan
susulan diatur dalam peraturan KPU.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya pemilu
merupakan suatu hak dan partisipasi masyarakat, juga sebagai penghubung antara
infrastruktur politik atau kehidupan politik dilingkungan masyarakat dengan
supra struktur politik atau kehidupan politik dilingkungan pemerintah sehingga
memungkinnya tercipta pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan
pemerintahan untuk rakyat.
Meski dapat kita lihat bahwa pemilu yang ada di indonesia
ini belum bisa berjalan dengan baik. Hal ini dapat kita lihat , bahwa sampai
sekarang ini masih banyak masyarakat yang masih Golput, ini menjadi tanggung
jawab kita bersama dimana pemilu ini penting untuk menentukan pemerintahan kita
selama 5 Tahun mendatang.
Dalam
sistem distrik, jumlah pemenangnya yang akan menjadi wakil di parlemen adalah
satu orang, sedangkan dalam sistem proporsional jumlah wakil yang akan mewakili
suatu daerah pemilihan adalah beberapa orang sesuai dengan proporsi perolehan
suaranya.
Kelemahan pemilu di indonesia adalah
adanya money politic (politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan
untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau
perorangan tersebut dalam pemilu, padahal praktek money politic merupakan praktek yang sangat
bertentangan dengan nilai demokrasi.
Pemungutan
suara ulang diatur dalam Pasal 104 dan 105 UU No 32 Tahun 2004. Ketentuan Pasal
104 Ayat (1) menyebutkan, pemungutan suara di TPS dapat diulang bila terjadi
kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau
penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
B. SARAN
ü Bagi
pemerintah, hendaknya merumuskan kebijakan mengenai Pemilu dengan
sebaik-baiknya, menyeleksi jumlah partai dengan ketat, dan melakukan
sosialisasi politik secara maksimal kepada masyarakat dan sebaiknya pemerintah membuat pembenahan misalnya pendidikan dan pemberian
informasi yang lengkap terhadap masyarakat sebagai pemilih.
ü Bagi
partai politik, hendaknnya memaksimalkan fungsi-fungsi partai yang berkaitan
dengan komunikasi, partisipasi, dan sosialisasi untuk melakukan pendidikan
politik kepada masyarakat dan tidak melakukan praktek money politic.
ü Bagi
masyarakat, supaya tidak mau menerima praktek money politic yang
dilakukan oleh partai politik, agar tidak menyesal untuk kedepannya dan tidak
golput dalam pemilihan dan juga harus peka terhadap partai politik.
ü Bagi
mahasiswa, seharusnya mahasiswa lebih
peduli terhadap informasi terkait dengan perkembangan perpolitikan di
Indonesia untuk meningkatkan pandangan dan pemikiran aktual mengenai kondisi
bangsa sehingga dapat menularkan ilmu yang didapat kepada orang-orang yang
disekitarnya yang belum mengerti tentang pemilu.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman H.I, Sistem Politik Indonesia, ( Yogyakarta :
Graha Ilmu, 2007)
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2009)
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html
http://www.rumahpemilu.org/in/read/1251/Mekanisme-Penetapan-Jumlah-Kursi-dan-Dapil-Pemilu
http://www.organisasi.org/1970/01/daftar-nama-partai-politik-parpol-peserta-pemilu-2014-di-indonesia.html
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html,
https://books.google.co.id/books?pemungutan+suara+lanjut++dan+pemungutan+suara+susulan&source
[1] A. Rahman H.I, Sistem Politik Indonesia, ( Yogyakarta :
Graha Ilmu, 2007) Hal, 151-153
[4]Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2009) Hal, 233
[5]http://www.organisasi.org/1970/01/daftar-nama-partai-politik-parpol-peserta-pemilu-2014-di-indonesia.html
21 oktober 2015
[6]http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html,19
Oktober 2015
[7]Ibid,
Sistem Politik Indonesia, Hal. 124-125
[9]http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/23/nas19.htm,21
oktober 2015
[10]https://books.google.co.id/books?pemungutan+suara+lanjut++dan+pemungutan+suara+susulan&source
21 OKTOBER 2015
Ditulis Oleh : faisalsaleh
Terimakasih atas kunjungan Kamu Karena telah Mau membaca artikel UU PEMILU. Tapi Kurang Lengkap Rasanya Jika Kunjunganmu di Blog ini Tanpa Meninggalkan Komentar, untuk Itu Silahkan Berikan Kritik dan saran Pada Kotak Komentar di bawah. Kamu boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikelUU PEMILU ini jika memang bermanfaat bagi kamu, tapi jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya. Terima Kasih.
0 komentar:
Post a Comment