UU PEMILU


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemilihan umum disebut juga dengan “Political Market” artinya bahwa pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu/masyarakat untuk berinteraksi melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio (radio) maupun audio visual (televisi) serta media lainnya seperti spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform, asas, ideologi serta janji-janji politik lainya guna meyakinkan pemilih sehingga pada pencoblosan dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun eksekutif.
Menurut penjelasan UU No.5 tahun 1996, tentang pemilihan umum, yang masih berlaku sampai tahun pemilu 1997, disebutkan tujuan pemilu adalah :
“dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita revolusi Kemerdekaan RI Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam pancasila dan UUD 1945, maka penyusunan tata kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan pemilihan umum. Dengan demikian, diadakan pemilihan umum tidak sekedar memilih wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/ perwakilan, dan juga tidak memilih wakil rakyat untuk menyusun negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawa hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan, mempertahankan dan mengembangkan NKRI yang bersumber pada Proklamasi 17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban amanat penderitaan rakyat. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya elektabilitas yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis (sinetron, lawak, penyanyi) yang tergiur untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik.
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pada hakekatnya merupakan konkritisasi dari perwujudan kedaulatan rakyat dalam rangka partisipasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Secara tegas (explicit)ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945 menyebutkan,”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”. Penggunaan hak pilih (aktif) oleh setiap warga negara Indonesia anggota – anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga sebagai aplikasi hak politik warga negara, sebagaimana ditentukan dalam pasal 28 Undang – Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang”. Kemerdekaan atau kebebasan mengeluarkan pikiran / menyatakan pendapat merupakan pilar mendasar dalam pemerintahan yang demokratis, dan dianggap sebagai asas fundamental dalam pemilihan umum.
Demokrasi yang dianut di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila yang mencakup prinsip – prinsip pokok demokrasi konstitusional yang berdasarkan rule of law. Pelaksanaan Pemilihan Umum yang bebas untuk mengakomodir hak – hak politik masyarakat, merupakan salah satu syarat utama pemerintahan yang demokratis berdasarkan rule of law. Secara lengkap (implicit),   dalam South – East Asian Conference of Jurists yang diselenggarakan di Bangkok pada tanggal 15 – 19 Pebruari 1965, menyebutkan syarat – syarat dasar untuk terselenggaranya   pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law, sebagai berikut:
1)        Perlindungan konstitusionil, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari menjamin hak – hak individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak – hak yang dijamin.
2)        Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals).
3)        Pemilihan umum yang bebas.
4)        Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5)        Kebebasan untuk berserikat / berorganisasi dan beroposisi.
6)        Pendidikan kewarganegaraan (civic education)

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Macam Sistem Pemilu ?
2.      Bagaimana Penentuan Jumlah Kursi Dalam Partai Politik ?
3.      Berapa Jumlah Partai Politik Di Indonesia ?
4.      Bagaimana Pemilu Sistem Proporsional ?
5.      Bagaimana Penentuan Anggota Legislatif ?
6.      Bagaimana Pemungutan Suara ?
7.      Bagaimana Penghitungan Surat Suara ?
8.      Bagaimana Sistem Pemilu Lanjutan dan Pemilu Lanjutan ?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk Mengetahui Bagaimana Macam Sistem Pemilu.
2.      Untuk Mengetahui Bagaimana Penentuan Jumlah Kursi Dalam Partai Politik.
3.      Untuk Mengetahui Berapa Jumlah Partai Politik Di Indonesia.
4.      Untuk Mengetahui Bagaimana Pemilu Sistem Proporsional.
5.      Untuk Mengetahui Bagaimana Penentuan Anggota Legislatif.
6.      Untuk Mengetahui Bagaimana Pemungutan Suara.
7.      Untuk Mengetahui Bagaimana Penghitungan Surat Suara.
8.      Untuk Mengetahui Bagaimana Sistem Pemilu Lanjutan dan pemilu susulan.























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Macam-Macam Sistem Pemilu
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :
1.      Single-Member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik).
2.      Multi-Member Konstituency(satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan proportional representation atau perwakilan berimbang).
Secara umum sistem pemilihan umum dapat diklasifikasikan dalam dua sistem, yaitu:
1.      Sistem Distrik
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karna kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Sistem pemilihan ini dipakai di inggris, kanada, amerika serikat dan india.
Sistem “Single-Member Constituency” mempunyai beberapa kelemahan:
a.       Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
b.      Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan.
Diamping kelemahan-kelemahan tersebut ada banyak segi positifnya, yang oleh negara yang menganut sistem ini dianggap lebih menguntungkan dari pada sistem pemilihan lain:
a.       Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian, dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya tetrhadap partainya akan lebih bebas, oleh karna dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting.
b.      Sistem ini lebih mendorong proses integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat sekedar dibendung, sistem ini mendorong proses penyederhanaan partai tanpa diadakan paksaan. Maurice Duverger berpendapat bahwa dalam proses seperti inggris dan amerika, sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem Dwipartai.
c.       Berkurangnya partai dan meningkatnya kerja sama antara partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional.
d.      Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
2.      Sistem Perwakilan Berimbang
Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya.
Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan :
a.       Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini tidak menjurus proses integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, mereka lebih cenderung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya dianggap bahwa sistem ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai.
b.      Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat pada partai dan kurang merasakan loyalitas pada daerah yang telah memilihnya. Hal ini disebabkan karena dianggap bahwa dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol peranannya dari pada kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai.
c.       Banyaknya partai mempersulit terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih. Disamping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu keuntungan besar, yaitu bahwa dia bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara turut diperhitungkan dan tidak ada suara yang hilang. Golongan-golongan bagaimana kecilpun dapat menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan rakyat. Masyarakat yang heterogen sifatnya, umumnya lebih tertarik pada sistem ini, oleh karena dianggap lebih menguntungkan bagi masing-masing golongan.[1]

B.     Kelemahan Sistem Pemilu
1.      Kelemahan Sistem Pemilu yang Memberikan Peluang Money Politic
Money politic (politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu, padahal praktek  money politic merupakan praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.
Lemahnya Undang-Undang dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat praktek money politic ini menjamur luas di masyarakat. Maraknya praktek money politic ini disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya praktek tersebut. Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem pemilu yang benar-benar anti money politic. 
Praktek money politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data untuk membuktikan sumber praktek tersebut,  namun ironisnya praktek money politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.
Hambatan terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam mencapai kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus masalah Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan penanganan yang lebih serius.

2.      Solusi Mengatasi Money Politic

Kita sebagai masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan kasus-kasus pemillu agar tidak menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku. Calon-calon pada pemilu juga harus komitmen untuk benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan apabila terbukti melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja.
Bentuk Undang-Undang yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya money politic dengan penanganan serius untuk memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan khusus independen untuk mengawasai calon-calon pemilu agar menaati peraturan terutama untuk tidak melakukan money politic.
Sebaiknya secara transparan dikemukan kepada publik sumber pendanaan kampaye oleh pihak-pihak yang mendanai tersebut. Transparan pula mengungkapkan tujuan mengapa mendanai suatu partai atau perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh hukum mengenai biaya kampanye agar tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga terhindar dari tindak pencarian pendanaan yang melanggar Undang-Undang. Misalnya, anggota legislatif yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
Sadarilah apabila kita salam memilih pemimpin akan berakibat fatal karena dapat menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu yang bersih dan bebas money politic kepada masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat dalam demokrasi secara langsung meningkat.
Perlu keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih. Hal tersebut dapat membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati nurani tanpa tergiur dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan demokrasi. [2]


C.  Penentuan Jumlah Kursi dalam Partai Politik
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 8/2012) sudah menetapkan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPR RI yang tercantum dalam lampiran undang-undang tersebut. Sementara penentuan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan oleh KPU.
Dalam menentukan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk masing-masing lembaga perwakilan agar dapat proporsional, para ahli merumuskan beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam melakukan penghitungan alokasi kursi dan pembentukand daerah pemilihan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: kesetaraan populasi, integralitas wilayah, kesinambungan wilayah, pencakupan wilayah (coterminus), kohesivitas penduduk, dan perlindungan petahana (preserving of incumbent).
Prinsip kesetaraan populasi adalah harga kursi dibanding penduduk kurang lebih sama antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain.
Prinsip integralitas wilayah berarti satu daerah pemilihan harus integral secara geografis, yang sejalan dengan prinsip kesinambungan wilayah, yaitu suatu daerah pemilihan harus utuh dan saling berhubungan secara geografis.
Prinsip pencakupan wilayah atau coterminus maksudnya adalah suatu daerah pemilihan lembaga perwakilan tingkat bawah harus menjadi bagian utuh dari daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi, atau satu daerah pemilihan lembaga tingkat bawah tidak boleh berada di dua daerah atau lebih daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi.
Prinsip kohesivitas penduduk berarti suatu daerah pemilihan hendaknya dapat menjaga kesatuan unsur sosial budaya punduduk dan menjaga keutuhan kelompok minoritas. Kesatuan unsur sosial budaya penting untuk menyatukan kepentingan yang akan diperjuangkan oleh para wakil di parlemen. Keutuhan kelompok minoritas juga perlu dijaga agar mereka mendapatkan kepastian untuk memiliki wakil di parlemen.
Terakhir prinsip perlindungan petahana, maksudnya suatu daerah pemilihan harus memberi jaminan kepada petahana untuk bisa berkompetisi dan meraih kursi perwakilan yang tersedia. Ini penting karena hubungan wakil dengan penduduk yang diwakili perlu dijaga agar memudahkan penyaluran dan perjuangan kepentingan penduduk yang diwakili. Prinsip ini jarang dipraktikkan pada pemilu proporsional yang memiliki banyak kursi di daerah pemilihan, tetapi lazim diterapkan di pemilu mayoritarian yang memiliki hanya 1 kursi di daerah pemilihan.
Penyusunan daerah pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 8/2012, tidak semata-mata utuk menghilangkan daerah pemilihan yang berkursi lebih dari 12, tetapi juga untuk menyesuaikan dengan perkembangan jumlah penduduk, perubahan geografi, dan perkembangan wilayah administrasi pemerintahan. Oleh karena itu penyusunan kembali daerah pemilihan tidak bisa dilakukan hanya berpijak pada daerah pemilihan yang ada atau yang digunakan dalam pemilu terakhir. Penyusunan daerah pemilihan harus dimulai dari tahap awal, sedangkan daerah pemilihan yang ada berlaku sebagai pembanding atau kontrol untuk memastikan sesuai-tidaknya pembentukan daerah pemilihan baru itu dengan kehendak undang-undang dan prinsip pemilu pembentukan daerah pemilihan dalam pemilu demokratis.[3]

D.    Jumlah Partai Politik Di Indonesia

Sebagai mana telah diuraikan lebih awal, di negara-negara yang sedang berkembang, terutama bagi negara-negara yang sedang berjuang melepaskan diri dari penjajahan asing, partai-partai didirikan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Hal yang sama juga dialami dalam sejarah pergeerakan kemerdekaan Republik Indonesia, yang diawali dengan terbentuknya organisasi sosial seperti budi utomo 20 mei 1908 oleh para mahasiswa sekolah tinggi kedokteran (STOVIA) di Jakarta, lalu dikenal sebagai awal kebangkitan perjuangan bangsa.[4]
Berdasarkan atas Surat Keputusan KPU Nomor 05/KPTS/KPU tahun 2013 tentang Penetapan Parpol Peserta Pemilu 2014, ditetapkan 10 partai politik yang berhak mengikuti ajang pesta demokrasi lima tahunan di tahun 2014.  Dari 34 parpol yang ikut serta, 24 di antaranya gagal lolos verivikasi KPU, kecuali ditetapkan lain oleh Keputusan Mahkamah Agung (MA), Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Keputusan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Dari keputusan itu ada 12 partai politik yang lolos dalam verivikasi pada tahun 2014 yaitu :[5]
1.  Partai Amanat Nasional (PAN)
2.  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
3.  Partai Demokrat (PD)
4.  Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra)
5.  Partai Golongan Karya (Partai Golkar)
6.  Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura)
7.  Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
8.  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
9.  Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem)
10. Partai Persatuan Pembangunan (PPP alias P3)
11. Partai Bulan Bintang (PBB)
12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)

E.     Pemilu Sistem Proporsional
1.      Sistem perwakilan proposional  ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
Sistem perwakilan proposional ialah sistem, di mana kursi-kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan prosentase atau pertimbangan jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Sistem ini juga disebut perwakilan berimbang atau multi member constituenty. ada dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;
a)        list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
b)      the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kota.
2.      Kelebihan dan kelemahan Sistem Proposional
a)      Kelebihan Sistem Proposional
1)      Dianggap lebih mewakili suara rakyat karena perolehan suara partai sama dengan persentase kursinya di parlemen.
2)      Setiap suara dihitung dan tidak ada yang terbuang, hingga partai kecil dan minoritas bisa mendapat kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Hal ini sangat mewakili masyarakat heterogen dan pluralis.
b)     Kelemahan Sistem Proposional
1)      Berbeda dengan sistem distrik, sistem proporsional kurang mendukung integrasi partai politik. Jumlah partai yang terus bertambah menghambat integrasi partai.
2)      Wakil rakyat kurang akrab dengan pemilihnya, tapi lebih akrab dengan partainya. Hal ini memberikan kedudukan kuat pada pimpinan partai untuk memilih wakilnya di parlemen.
3)      Banyaknya partai yang bersaing menyebabkan kesulitan bagi suatu partai untuk menjadi mayoritas.[6]

F.     Penentuan Anggota Legislatif
susunan keanggotaan badan legislatif pada dasarnya menurut mariam Budiarjo, adalah beraneka ragam yaitu ada yang jumlahnya mencapai 1300 anggota DPR Unu Sofiet (kini Rusia), DPR Indonesia berjumlah 560 dan ada yang kecil seperti anggota DPR Pakistanyaitu sebanyak 150 anggota. Sistem penentuan anggota DPR beraneka ragam sifatnya yaitu:
1.    Turun temurun (sebagian majelis tinggi Inggris)
2.    Ditunjuk (Senat Kanada)
3.    Dipilih, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sistem penentuan atau pemilihan diatas, berlaku pada pemerintah sosialis atau kerajaan, sedangkan pada negara modern pada umumnya anggota badan legislatif dipilih melalui pemilihan umum dan berdasarkan sistem kepartaian. Perwakilan semacam ini bersifat politik.[7]




G.    Pemungutan Suara
Tempat pemungutan suara atau TPS adalah tempat pemilih memberi suara dan mengisi surat suara mereka dalam pemilihan umum.
Karena pemilihan umum berlangsung dalam rentang waktu satu atau dua hari secara berkala, seringkali tahunan atau lebih, tempat pemungutan suara biasanya terletak di fasilitas yang digunakan untuk keperluan lain, seperti sekolah, gereja, ruang olahraga, kantor pemerintah, atau bahkan tempat tinggal pribadi. Tempat pemungutan suara dikelola oleh petugas (yang disebut petugas atau panitia pemungutan suara) yang memantau prosedur pemungutan suara dan membantu pemilih dalam proses pemilu. TPS ini akan dibuka antara jam tertentu tergantung pada jenis pemilu, dan kegiatan politik oleh atau atas nama orang atau partai yang terdapat dalam surat suara biasanya dilarang di tempat pemungutan suara dan daerah disekitarnya.
Di dalam tempat pemungutan suara akan terdapat tempat memberikan suara yang umumnya berupa bilik suara, di mana pemilih bisa memilih calon atau partai pilihannya secara rahasia. Surat suara yang telah diisi akan dimasukkan ke dalam kotak suara dengan disaksikan oleh para saksi. Di sejumlah negara maju, mesin pemungutan suara juga bisa digunakan sebagai pengganti surat suara. Tempat pemungutan suara ini umumnya berupa struktur sementara atau kabin portabel, dan akan disingkirkan setelah pemilihan umum selesai[8]

H.    Penghitungan Ulang Surat Suara
Beberapa pasal Undang-undang No 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pilkada telah mengantisipasi sejumlah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadi penghitungan dan pemungutan suara ulang. Kondisi yang dapat menjadi penyebab penghitungan ulang surat suara diatur dalam Pasal 103 Ayat (1) UU No 32 Tahun 2004. Selengkapnya ketentuan tersebut menyatakan, penghitungan ulang surat suara di TPS dilakukan bila hasil dari penelitian dan pemeriksaan terbukti terdapat satu atau lebih penyimpangan sebagai berikut:
a.       Penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
b.      Penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang penerangan cahaya;
c.       Saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan masyarakat tidak dapat menyaksikan penghitungan suara secara jelas;
d.      Penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan; dan atau
e.       Terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.
Dengan demikian, jelas bila terjadi satu atau lebih suatu kondisi sebagaimana tersebut, maka jajaran penyelenggara pilkada dapat melakukan penghitungan ulang surat suara.
Di samping karena kondisi tersebut, penghitungan ulang surat suara juga dapat dilakukan bila terjadi perbedaan data jumlah suara. Ketentuan Pasal 103 Ayat (2) dan (3) secara tegas menyebutkan bahwa ''penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS bila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS''. Kemudian, ''penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK, bila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS''. Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 103 Ayat (4) tidak dilakukan penghitungan ulang surat suara, namun cukup dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada satu tingkat di bawahnya.
Pemungutan suara ulang diatur dalam Pasal 104 dan 105 UU No 32 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 104 Ayat (1) menyebutkan, pemungutan suara di TPS dapat diulang bila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Berikutnya ketentuan Pasal 105 Ayat (1) menyatakan, pemungutan suara di TPS dapat diulang bila dari hasil penelitian dan pemeriksaan panitia pengawas kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut:
a.       Pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b.      Petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamat pada surat suara yang sudah digunakan;
c.       Lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;
d.      Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
e.       Lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 105, penghitungan suara dan pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dan Pasal 104 diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari sesudah hari pemungutan suara.[9]

I.       Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan
Pemilu lanjutan dan pemilu susulan dilakukan apabila terjadi hal-hal yang menyebabkan proses pemilu terhambat.pemilu lanjutan dilakukan apabila di sebagian atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya. Yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Pelaksanaan pemilu lanjutan dimulai dari tahap pelaksanaan pemilu yang terhenti.
Sementara pemilu susulan dilakukan apabila disuatu daerah terjadi kerusuhan, hgangguan keamanan,bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.pelaksanaan pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu.
Pemilu lanjutan dan pemilu susulan dapat dilaksanakan apabila KPU telahmenetapkan penundaan pelaksanaan pemilu. Penetapan penundaan pelaksanaan pemilu dilakukan oleh:[10]
a.       KPU kabupaten / kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan pemilu
b.      Meliputi satu atau beberapa desa/kelurahan
c.       KPU kabupaten/kotaatas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan pemilu.
d.      Meliputi satu atau beberapa kecamatan
e.       KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota apabila penundaan
f.       Pelaksanaan pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota
g.      KPU atas usul KPU provinsi apabila penundaan pelaksanaan pemilu meliputi satu atau beberapa provinsi.
Jika pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% jumlah provinsi atau 50% dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan pemilu lanjutan atau pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU. Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara dan waktu pelaksanaan pemilu lanjutan dan susulan diatur dalam peraturan KPU.











BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya pemilu merupakan suatu hak dan partisipasi masyarakat, juga sebagai penghubung antara infrastruktur politik atau kehidupan politik dilingkungan masyarakat dengan supra struktur politik atau kehidupan politik dilingkungan pemerintah sehingga memungkinnya tercipta pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat.
Meski dapat kita lihat bahwa pemilu yang ada di indonesia ini belum bisa berjalan dengan baik. Hal ini dapat kita lihat , bahwa sampai sekarang ini masih banyak masyarakat yang masih Golput, ini menjadi tanggung jawab kita bersama dimana pemilu ini penting untuk menentukan pemerintahan kita selama 5 Tahun mendatang.
Dalam sistem distrik, jumlah pemenangnya yang akan menjadi wakil di parlemen adalah satu orang, sedangkan dalam sistem proporsional jumlah wakil yang akan mewakili suatu daerah pemilihan adalah beberapa orang sesuai dengan proporsi perolehan suaranya.
            Kelemahan pemilu di indonesia adalah adanya money politic (politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu, padahal praktek  money politic merupakan praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.
Pemungutan suara ulang diatur dalam Pasal 104 dan 105 UU No 32 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 104 Ayat (1) menyebutkan, pemungutan suara di TPS dapat diulang bila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.



B.     SARAN
ü Bagi pemerintah, hendaknya merumuskan kebijakan mengenai Pemilu dengan sebaik-baiknya, menyeleksi jumlah partai dengan ketat, dan melakukan sosialisasi politik secara maksimal kepada masyarakat dan sebaiknya pemerintah membuat  pembenahan misalnya pendidikan dan pemberian informasi yang lengkap terhadap masyarakat sebagai pemilih.
ü Bagi partai politik, hendaknnya memaksimalkan fungsi-fungsi partai yang berkaitan dengan komunikasi, partisipasi, dan sosialisasi untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dan tidak melakukan praktek money politic.
ü Bagi masyarakat, supaya tidak mau menerima praktek money politic yang dilakukan oleh partai politik, agar tidak menyesal untuk kedepannya dan tidak golput dalam pemilihan dan juga harus peka terhadap partai politik.
ü Bagi mahasiswa, seharusnya mahasiswa lebih  peduli terhadap informasi terkait dengan perkembangan perpolitikan di Indonesia untuk meningkatkan pandangan dan pemikiran aktual mengenai kondisi bangsa sehingga dapat menularkan ilmu yang didapat kepada orang-orang yang disekitarnya yang belum mengerti tentang pemilu.









DAFTAR PUSTAKA
Rahman H.I, Sistem Politik Indonesia, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007)
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009)
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html
http://www.rumahpemilu.org/in/read/1251/Mekanisme-Penetapan-Jumlah-Kursi-dan-Dapil-Pemilu
http://www.organisasi.org/1970/01/daftar-nama-partai-politik-parpol-peserta-pemilu-2014-di-indonesia.html
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html,
https://books.google.co.id/books?pemungutan+suara+lanjut++dan+pemungutan+suara+susulan&source



[1] A. Rahman H.I, Sistem Politik Indonesia, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007) Hal, 151-153
[4]Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009) Hal, 233
[5]http://www.organisasi.org/1970/01/daftar-nama-partai-politik-parpol-peserta-pemilu-2014-di-indonesia.html 21 oktober 2015
[6]http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html,19 Oktober 2015
[7]Ibid, Sistem Politik Indonesia, Hal. 124-125
[9]http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/23/nas19.htm,21 oktober 2015
[10]https://books.google.co.id/books?pemungutan+suara+lanjut++dan+pemungutan+suara+susulan&source 21 OKTOBER 2015

Ditulis Oleh : faisalsaleh

Terimakasih atas kunjungan Kamu Karena telah Mau membaca artikel UU PEMILU. Tapi Kurang Lengkap Rasanya Jika Kunjunganmu di Blog ini Tanpa Meninggalkan Komentar, untuk Itu Silahkan Berikan Kritik dan saran Pada Kotak Komentar di bawah. Kamu boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikelUU PEMILU ini jika memang bermanfaat bagi kamu, tapi jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya. Terima Kasih.

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts :