HAKIKAT PANCASILA
Kedudukan dan fungsi Pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memliki pengertian pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai ideologi bangsa dan Negara, sabagai kepribadian bangsa bahkan dalam proses terjadinya terdapat berbagai macam terminologi yang harus didesktipsikan secara objektif. Selain itu, pancasila secara kedudukan dan fungsinya juga harus dipahami secara kronologis.
Oleh karena itu, untuk memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya maupun peristilahannya maka pengertian Pancasila tersebut meliputi lingkup pengertian sebagai berikut :
Pengertian Pancasila secara etimologis
Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan “Pancasila” memilki dua macam arti secara leksikal yaitu :
“panca” artinya “lima”
“syila” vokal I pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
“syiila” vokal i pendek artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila “ yang memilki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah adalah istilah “Panca Syilla” dengan vokal i pendek yang memilki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.
Pengertian Pancasila secara Historis
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
Pengertian Pancasila secara Terminologis
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka panitia Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 aturan Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat.
Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedudukan dan fungsi Pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memliki pengertian pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai ideologi bangsa dan Negara, sabagai kepribadian bangsa bahkan dalam proses terjadinya terdapat berbagai macam terminologi yang harus didesktipsikan secara objektif. Selain itu, pancasila secara kedudukan dan fungsinya juga harus dipahami secara kronologis.
Oleh karena itu, untuk memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya maupun peristilahannya maka pengertian Pancasila tersebut meliputi lingkup pengertian sebagai berikut :
Pengertian Pancasila secara etimologis
Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan “Pancasila” memilki dua macam arti secara leksikal yaitu :
“panca” artinya “lima”
“syila” vokal I pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
“syiila” vokal i pendek artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila “ yang memilki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah adalah istilah “Panca Syilla” dengan vokal i pendek yang memilki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.
Pengertian Pancasila secara Historis
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
Pengertian Pancasila secara Terminologis
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka panitia Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 aturan Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat.
Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan
I: Moh. Yamin, Mr.
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945
beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan
konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan
didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945
Mr. Mohammad Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno
BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan
Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato
maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara
yaitu[1]:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri ke-Tuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Rumusan
Tertulis
Selain usulan lisan Muh Yamin
tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan
tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan
kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu[2]:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kebangsaan Persatuan Indonesia
- Rasa Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab
- Kerakyatan yang dipimpin oleh
Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
Rumusan
II: Soekarno, Ir.
Selain Muh Yamin, beberapa anggota
BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, di antaranya adalah Ir Sukarno[3]. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian
dikenal sebagai hari lahir Pancasila.Namun masyarakat bangsa indonesia ada yang
tidak setuju mengenai pancasila yaitu Ketuhanan, dengan menjalankan syari'at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.Lalu diganti bunyinya menjadi Ketuhanan Yg Maha
Esa. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon
dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno
pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah
berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa
(Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno
di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila[4].
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme,-atau
peri-kemanusiaan
- Mufakat,-atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial
- Ketuhanan
- Sosio-nasionalisme
- Sosio-demokratis
- ke-Tuhanan
- Gotong-Royong
Rumusan
III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print
Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama
yang berakhir tanggal 1 Juni 1945.
Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945,
delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk
menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada 22 Juni 1945
panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam
rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda
(kemudian dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan") yang bertugas
untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan
agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam
yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang
menghendaki bentuk negara sekuler di mana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di
bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia
Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan
rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen
“Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan
kemerdekaan/proklamasi/declaration of independence). Rumusan ini merupakan
rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri Bangsa".
“… dengan berdasar kepada:
ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif
pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan kalimat
rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan
dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen
itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut
menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada:
ke-Tuhanan,
[A] dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar[:]
[A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan[;]
serta
[B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.”
Rumusan
dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan
populer
Versi populer rumusan rancangan
Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
- Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan
beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
Rumusan
IV: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan
Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam
rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945. Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum
Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu
Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi
12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan
sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945
hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan
kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara
hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh
masyarakat luas[9].
“… dengan berdasar kepada:
ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
Rumusan
dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Dengan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan
V: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang
mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa
Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI
Jepang) menimbulkan situasi darurat yang
harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari
Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan
Kalimantan), di antaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara. Untuk
menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula,
wakil golongan Islam, di antaranya Teuku Moh Hasan,
Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan
itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui
penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi keutuhan
Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945
usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat
pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus
Hadikusumo. Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai
oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD
1945.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
Rumusan
dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan
beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan
VI: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesi semakin kecil dan
terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI
Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah
kolonial Belanda dengan nama Republik
Indonesia Serikat
(RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan
oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS
sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil
permufakatan seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar
negara terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS
disetujui pada 14 Desember 1949
oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan
Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan
dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan
VII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri, negara
itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian
RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei
1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT[13], dan NST[14]. Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI
Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan
negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara.
Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang
Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal
15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf
keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.
Rumusan
kalimat[15]
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan
Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan
dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan
VIII: UUD 1945
Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD
Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan
negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno,
mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya
menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945
menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan
kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD
kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh
MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan
rakyat antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, di
antaranya:
- Tap MPR No XVIII/MPR/1998
tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan
Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
- Tap MPR No III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan
dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan
beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan
IX: Versi Berbeda[17]
Selain mengutip secara utuh rumusan
dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan
ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Rumusan
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan
beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial.
Rumusan
X: Versi Populer[18]
Rumusan terakhir yang akan
dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh
masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan
diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan
ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan
kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat
terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam
lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Rumusan
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan
beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Epilog
“Pancasila sebagaimana dimaksud
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
bernegara” (Pasal 1 Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No.
I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945).
Ditulis Oleh : faisalsaleh
Terimakasih atas kunjungan Kamu Karena telah Mau membaca artikel Pancasila. Tapi Kurang Lengkap Rasanya Jika Kunjunganmu di Blog ini Tanpa Meninggalkan Komentar, untuk Itu Silahkan Berikan Kritik dan saran Pada Kotak Komentar di bawah. Kamu boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikelPancasila ini jika memang bermanfaat bagi kamu, tapi jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya. Terima Kasih.
0 komentar:
Post a Comment