KEPAILITAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Berkembangnya era globalisasi di dunia, sangat membawa dampak terhadap beberapa segi kehidupan di Indonesia baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Khususnya di bidang ekonomi, berkembangnya era globalisasi semakin mendongkrak daya pikir manusia untuk melakukan suatu usaha ataupun pengembangan di bidang usaha. Berbagai cara ditempuh oleh pelaku usaha untuk melakukan melakukan pengembangan usahanya agar usahanya tidak tertinggal dengan pelaku usaha yang lain. Hal itu dilakukan dengan melakukan iklan besar-besaran, membuka jalur-jalur investasi baik untuk investor dalam negeri maupun investor luar negeri,membuka berbagai cabang perusahaan dan yang paling sering dilakukan adalah melakukan utang untuk mengembangkan usahanya, karena di zaman sekarang untuk melakukan suatu pengembangan usaha tidak membutuhkan biaya yang ringan. Utang bagi pelaku usaha bukan suatu proses yang menunjukan bahwa perusahaan mempunyai neraca keuangan yang buruk, utang dalam dunia usaha merupakan salah satu langkah infentif untuk mendapatkan suntikan modal agar dapat melakukan pengembangan usaha. Namun konsep tersebut berlaku apabila di masa jatuh tempo penagihan, perusahaan tersebut mampu mengembalikan utang tersebut.
Yang menjadi permasalahan adalah ketika perusahaan sebagai debitor atau pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasanya dapat ditagih di pengadilan, tidak mampu mengembalikan utang dari kreditor atau pihak yang mempunyai piutang utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasanya dapat ditagih di pengadilan. Oleh karena itu, dalam menjamin keadilan untuk masing-masing pihak, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kepailitan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan kepailitan?
2.      Bagaimanakah permohonan kepailitan?
3.      Apakah yang dimaksud dengan keputusan kepailitan?

C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kepailitan.
2.      Untuk mengetahui bagaimana permohonan kepailitan.
3.      Untuk mengetahui tentang keputusan kepailitan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kepailitan
Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi, bangkrut.[1] Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi antara lain: Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing”.[2] Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Dengan demikian maka kepailitan adalah keadaan atau kondisi dimana seseorang atau badan hukum tidak mampu lagi membayar kewajibannya (Dalam hal ini utangnya) kepada si piutang.
Tampak bahwa inti kepailitan adalah sita umum atas kekayaan debitor. Maksud dari penyitaan agar semua kreditor mendapat pembayaran yang seimbang dari hasil pengelolaan asset yang disita. Dimana asset yang disita dikelola atau yang disebut pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh kurator.
Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu Debitur tidak dapat membayar utangnya, maka jika Debitur tersebut hanya memiliki satu orang Kreditur dan Debitur tidak mau membayar utangnya secara sukarela, maka Kreditur dapat menggugat Debitur ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta Debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditur. Namun, dalam hal Debitur memiliki lebih dari satu Kreditur dan harta kekayaan Debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para Kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para Kreditur akan berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta Debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan Kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum. Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para Kreditur dengan berpedoman pada KUHPer, terutama pasal 1131 dan 1132, maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU.
Pasal 1131 KUHPer:
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu.”
Pasal 1132 KUHPer:
“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”
B.     Dasar Hukum Kepailitan
Semula lembaga hukum kepailitan diatur undang-undang tentang Kepailitan dalam Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348. Karena perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi, serta modal yang dimiliki oleh para pengusaha umumnya berupa pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, undang-undang tersebut telah menimbulkan banyak kesulitan dalam penyelesaian utang-piutang. Penyelesaian utang-piutang juga bertambah rumit sejak terjadinya berbagai krisis keuangan yang merembet secara global dan memberikan pengaruh tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional. Kondisi tidak menguntungkan ini telah menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya.
Undang-undang tentang Kepailitan (Faillissements verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348), sebab itu, telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan tersebut juga ternyata belum memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga pada tahun 2004 pemerintah memperbaikinya lagi dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU). Dan juga adapun BW secara umum khususnya pasal 1131 sampai dengan 1134.[3]

C.    Permohonan Kepailitan
Dari ketentuan dalam pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu debitur dinyatakan pailit adalah sebagai berikut :
1.      Adanya debitur yang tidak membayar utang.
2.      Adanya lebih dari satu Kreditur.
3.      Adanya lebih dari satu utang.
4.      Minimal satu utang sudah jatuh tempo.
5.      Minimal satu utang sudah dapat ditagih.
6.      Pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga. 
Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Kepailitan Dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru, yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan kepailitan pada Pengadilan Niaga adalah:
  1. Debitur sendiri.
  2. Seorang atau lebih krediturnya.
  3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
  4. Bank Indonesia (BI) dalam hal debitur merupakan bank.
  5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
  6. Menteri Keuangan dalam hal debitur merupakan perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.[4]
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004 yang telah dibahas sebelumnya oleh penulis. Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Pengajuan selain dapat dilakukan oleh kreditur atau lembaga yang diberikan kewenangan yaitu debitur itu sendiri. Debitur yang melakukan permohonan kepailitan pada Perseroan Terbatas harus memenuhi syarat sebagai berikut:[5]
1.      Surat permohonan bermaterai ditujukan kepada ketua pengadilan niaga.
2.      Akta pendafataran perusahaan yang dilagalisir oleh kantor perdagangan.
3.      Putusan sah Rapat umum Pemegang Saham (RUPS).
4.      Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga.
5.      Neraca keuangan terakhir.
6.      Nama serta alamat debitur dan kreditur.
Syarat yang harus dilakukan oleh kreditur yang melakukan permohonan kepailitan adalah:[6]
1.      Surat permohonan yang bermaterai yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Niaga.
2.      Akta pendaftaran perusahaan yang dilegalisir oleh ketua perdagangan.
3.      Surat perjanjian utang yang ditanda tangani kedua belah pihak.
4.      Perincian utang yang tidak terbayar.
5.      Nama dan alamat masing-masing kreditur/debitur
Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak permohonan di mana dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau pencocokan utang antara debitur dengan kreditur. Dalam rapat verifikasi atau pencocokan utang seorang debitor wajib datang sendiri agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawasmengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Pada rapat pencocokan utang setelah semua pihak hadir baik debitor, kurator, maupun kreditor, hakim pengawasakan membacakan daftar piutang yang diakui sementara dan daftar yang dibantah oleh kurator.

D.    Keputusan Kepailitan
Keputusan akan mengeluarkan pernyataan pailit atau tidak, ada dalam diskresi pengadilan. Bila memang pengadilan memutuskan untuk mengabulkan permohonan pernyataan pailit, debitor menjadi undischarged bankrupt dan kehilangan atas segala asetnya.[7] Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar sedangkan perbedaan besarnya utang didalihkan oleh permohonan pailit dan termohon pailit tidak menghalangi jatuhnya putusan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan di mana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.[8]
Pada proses pengurusan harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan kepengurusan yaitu:[9]
1.      Hakim pengawas yang melakukan pengawasan pada pengurusan dan pemberesan harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37 Tahun 2004.
2.      Kurator, memiliki tugas melakukan pemberesan harta pailit.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kurator adalah pihak yang diberi tugas untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit. Dalam melakukan tugasnya, kurator :[10]
1.      Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;
2.      Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, semata – mata dalam meningkatkan nilai harta pailit. Bila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga curator perlu membebani harta pailit dengan hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan hakim pengawas.
Kurator yang dimaksud di atas terdiri dari 2 macam, yaitu :
1.      Balai Harta Peninggalan (BHP)
2.      Curator lainnya yaitu perseorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit dan telah terdaftar pada departemen Kehakiman.
Dalam hal kepailitan terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan, kasasi ke Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan pailit yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Proses pengurusan kepailitan dianggap telah berakhir apabila telah terjadi hal-hal seperti berikut:[11]
1.      Akur atau perdamaian, terjadi ketika terdapat perjanjian antara debitur pailit dengan para kreditur di mana debitur menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa utangnya.
2.      Insolvensi atas pemberesan harta pailit, ketika terjadi insolvensi apabila kepailitan tidak ditawarkan akur atau perdamaian atau tidak dipenuhinya suatu kesepakatan sehingga terjadi keadaan tidak mampu membayar, sebagaimana diatur pada pasal 178 UU no 37 tahun 2004.
3.      Rehabilitasi, permohonan rehabilitasi dapat diajukan oleh debitur pailit atau ahli warisnya dengan dibuktikan bahwa kreditur telah menerima seluruh pembayaran piutangnya.

Akibat hukum secara umum yang terjadi yang disebabkan oleh putusan pailit adalah terhadap harta debitur akan dilakukan sitaan umum, perikatan debitur yang dibuat setelah putusan pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta pailit, dan  perbuatan hukum yang dilakukan debitor sebelum putusan pailit diucapkan dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan pada pasal 41 UU No 37 Tahun 2004.[12]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004.
Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar sedangkan perbedaan besarnya utang didalihkan oleh permohonan pailit dan termohon pailit tidak menghalangi jatuhnya putusan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan di mana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.

DAFTAR PUSTAKA

Ari Purwandi, 2011, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah, Jurnal tidak diterbitkan, Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma Surabaya.
Arthur Lewis, 2009, Dasar Dasar Hukum Bisnis, Bandung: Nusa Media.
Daryanto, 1997, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Surabaya: Apollo.
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika,
Man S. Sastrawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan Dan Penundaan kewajiban Pembayaran Cetakan pertama, Bandung: P.T. Alumni.
Rahayu Hartini, 2007, Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press.
Richard Burton Simatupang, 2003, Aspek Hukum dalam Bisnis (Edisi Revisi), Jakarta: PT Rineka Cipta.


                [1] Daryanto, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), hlm. 455.
                [2] Ari Purwandi, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah, Jurnal tidak diterbitkan, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma Surabaya, 2011), hlm. 129.
                [3] Man S.Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan kewajiban Pembayaran Cetakan pertama, (Bandung: P.T. Alumni, 2006), hlm. 74.
                [4] Diakses dari https://yinyang8793.wordpress.com/makalah-kepailitan/ pada tanggal 09 April 2015 pukul 20:00.
                [5] Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2007), hlm. 74.
                [6] Ibid.
                [7] Arthur Lewis, Dasar Dasar Hukum Bisnis, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 412.
                [8] Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 91.
                [9] Rahayu Hartini, ibid, hlm. 126.
                [10] Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis (Edisi Revisi), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 164.
                [11] Rahayu Hartini, ibid, hlm. 175-186.
                [12] Jono, ibid, hlm. 107.

Ditulis Oleh : faisalsaleh

Terimakasih atas kunjungan Kamu Karena telah Mau membaca artikel KEPAILITAN. Tapi Kurang Lengkap Rasanya Jika Kunjunganmu di Blog ini Tanpa Meninggalkan Komentar, untuk Itu Silahkan Berikan Kritik dan saran Pada Kotak Komentar di bawah. Kamu boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikelKEPAILITAN ini jika memang bermanfaat bagi kamu, tapi jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya. Terima Kasih.

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts :