MAKALAH
SYUF’AH / KELUAR DARI KEMITRAAN
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mandiri
Untuk Mata Kuliah : Hadis Ekonomi I
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hj. Enizar, M. Ag
Di Susun oleh :
Winarsih (1289674)
Kelas : B
Prodi : Ekonomi Islam
Jurusan : Syari’ah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO
T.A 2013 / 2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb ,
Puji dan syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah banyak memberikan kita nikmat terutama iman, islam. Dengan berkat, rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga saya selaku penulis makalah dapat menyelesaikan makalah ini dengan sehat wal afiat, walaupun terdapat masalah-masalah yang menjadi batu sandungannya dalam pengerjaannya. Shalawat serta salam Allah SWT, semoga selalu tercurah keharibaan sang tauldan kita Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta para tabiin, tabiit tabiin dan para ummatnya yang selalu menjaga sunnahnya.
Akhirnya dengan segala kekurangan dan kesalahan, kami mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini kurang sempurna kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnan makalah ini.
Wa’alaikumussalam Wr. Wb
Metro, Oktober 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
JUDUL HALAMAN....................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR.................................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 5
A. Pendahuluan........................................................................................................ 5
1. Pengertian Syuf’ah.......................................................................................... 5
2. Hukum Disyariatkannya Syuf’ah.................................................................... 7
3. Syarat-Syarat Syuf’ah................................................................................... 10
B. Pembahasan Dalil-Dalil Syuf’ah...................................................................... 18
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 24
Kesimpulan.................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini, saya mencoba semaparkan sedikit tentang syarh hadis ekonomi yang berkaitan dengan syuf’ah atau pemindahan hak dari seseorang yang bermitra kepada pihak lain. Oleh sebab itu, sedikit saya jabarkan bahwasanya syuf’ah menggabungkan bagian mitranya kepadanya sehingga menjadi tergabung, atau penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak.
Untuk lebih memahami syarh hadis ekonomi, kita juga harus memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan kegiatan berekonomi.dalam kegiatan bersyuf’ah, orang yang bermitra harus lebih mengutamakan mitranya jika ia hendak menjual bagian dari barang milik bersama tersebut dengan tujuan menjalin hubungan baik dengan mitranya. Orang yang keluar dari syuf’ah hendaknya menawarkan bagiannya kepada mitranya terlebih dahulu sebelum ia menawarkan kepada pihak lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
1. Pengertian Syuf’ah
Syuf’ah menurut bahasa artinya al-dham, at-taqwiyah, dan al-I’anah. Sedangkan menurut istilah para ulama menafsirkan Syuf’ah sebagai berikut:
a. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa yang dimaksud dengan syuf’ah ialah: “Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarih terdahulu atas syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.”[1]
b. Menurut Sayyid abiq, syuf’ah ialah pemilikan benda-benda syuf’ah oleh syafi’ sebagai pengganti dan pembeli dengan harga barang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.
c. Menurut Idris Ahmad, syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat baru dengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama.
Setelah diketahui ta’rif-tar’rif yang dikemukakan oleh para ulama, kiranya dapat dipahami bahwa syuf’ah ialah pemilikan oleh seorang syar’riq dan dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.[2]
Pengertian lain tentang syuf’ah yaitu: menurut bahasa syuf’ah berasal dari kata syaf’ yang berarti dhamm ‘percampuran’, syuf’ah sendiri merupakan praktik yang populer di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman Jahiliyah, seseorang yang ingin menjual rumah atau kebun di datangi oleh tetangga, teman atau sahabatnya untuk meminta syuf’ah dari apa yang dijualnya. Kemudian ia menjualkan kepadanya dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya dari pada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut syafi’.
Menurut syari’at, syuf’ah adalan pemilikan barang syuf’ah oleh syafi’, sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya sesuai dengan sistem pembayaran oleh pembeli lain.[3]
Syuf’ah adalah hal yang sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada zaman jahiliyah. Dahulu seseorang jika hendak menjual rumah atau kebunnya, maka tetangga, kawan serikat atau kawannya datang mensyuf’ahnya, dijadikannya ia sebagai orang yang lebih berhak membeli bagian itu. Dari sinilah disebut Syuf’ah, adapun orang yang meminta syuf’ah disebut syafii’.
Syuf’ah menurut fuqaha’ adalah keberhakan kawan sekutu mengambil bagian kawan sekutunya dengan ganti harta (bayaran). Sedangkan syafii’ mengambil bagian kawan sekutunya yang telah menjual dengan pembayaran yang telah ditetapkan dalam akad. Ada yang mengatakan, bahwa dinamakan syuf’ah karena pemiliknya menggabungkan sesuatu yang dijual kepada pemiliknya sehingga menjadi sepasang, setelah sebelumnya kepemilikannya terpisah.
Dikatakan juga bahwa syuf’ah yaitu hak memiliki secara paksa yang telah tetap untuk partner lama dari partner yang baru karena disebabkan adanya persekutuan untuk menghindari bahaya (menghindari bahaya dan pertengkaran yang mungkin timbul). Hal itu karena hak milik syafii’ terhadap harta yang dijual hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya madharat yang mungkin timbul dari orang lain tersebut).[4]
Dalam buku diktat dijelaskan bahwa Syuf’ah secara etimologi mempunyai makna pasangan; tambahan; dan pertolongan. Dalam konteks ini semua makna bahasa ini dapat masuk kedalamnya, karena Syuf’ah terkait dengan milik bersama. Sedangkan secara terminologi, Syuf’ah mempunyai makna perpindahan hak dan tanggung jawab salah satu mitra kepada mitra lain dengan penggantian standar.[5]Adanya pemindahan hak atau kewajiban terhadap sesuatu yang menjadi obyek syirkah yang tidak dapat dipisahkan kepada orang lain tentu saja memerlukan aturan khusus sehingga tidak mengganggu komitmen yang sudah dibuat oleh pihak yang bermitra.
Dalam kegiatan ekonomi, di samping usaha dan modal sendiri dapat juga dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama. Namun dalam perjalanannya mungkin saja salah seorang atau beberapa orang ingin keluar dari kerjasama tersebut. Keluarnya salah seorang atau beberapa orang yang mempunyai hak dalam asset bersama itu, tentu tidak mudah dan perlu adanya aturan, sehingga tidak merugikan pihak yang ikut dalam kerjasama tersebut.
Dua orang atau lebih yang bekerja sama atau memiliki suatu barang secara bersama diatur secara khusus. Mereka tidak mempunyai kebebasan mutlak dalam mengalihkan barang yang dimilikinya kepada siapa yang diinginkannya. Mereka harus mengikuti aturan khusus jika bermaksud mengeluarkan haknya.[6]
2. Hukum Disyariatkannya Syuf’ah[7]
Syuf’ah adalah hak yang tetap berdasarkan Hadis dan Ijma’.
1. Dasar Hadis yaitu: Hadis Riwayat Bukhari Muslim yang bersumber dari Jabir ibn Abdullah r.a, ia berkata: “Rasulullah SAW memutuskan dengan syuf’ah pada setiap barang yang belum dibagi. Namun jika telah ditetapkan batas-batasannya dan dibuat jalan-jalannya, tidak ada lagi syuf’ah padanya”. (HR Bukhari-Muslim).
2. Dasar Ijma’
Dasar dari Ijma’ adalah ucapan Ibnu Munzir, “ Ulama sepakatditetapkannya syuf’ah bagi partner pada sesuatu yang belum dibagi, berupa tanah, rumah atau kebun. Dan Ibnu Hubairah berkata: ”Ulama sepakat bahwa syuf’ah wajib bagi partner.[8]
Ø Syuf’ah bagi Dzimmi
Menurut mayoritas ahli Fiqih, karena syuf’ah berlaku untuk orang muslim, maka ia juga berlaku untuk orang kafir dzimmi. Tetapi Ahmad, Hasan dan Syafi’i berpendapat bahwa syuf’ah tidak berlaku untuk orang kafir dzimmi, berdasarkan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Anas, bahwa Nabi saw bersabda,
لاَ شُفْعَةَ لِنَصْرَانِيْ.
“ Tidak berlaku syuf’ah bagi orang nasrani.”
Ø Izin Penjualan dari Mitra Kepemilikan
Seseorang tidak boleh menjual barang milik bersama tanpa seizin mitranya. Jika penjualan itu di lakukan tanpa izin, maka sang mitra lebih berhak untuk membelinya. apabila sang mitra memberi izin serta berkata, “ Aku tidak membantah penjualan tersebut “ , dan tidak melakukan tuntutan apapun setelahnya, maka penjualan itu sah. Demikian tuntunan yang telah di tetapkan oleh Rasulullah saw.
a. Imam Muslim meriwayatkn bahwa Jabir berkata,
قَضَ رَسُوْلُ اللهُ صَلََّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِا الشُّفْعَةِ فِيْ كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمُ : رُبْعَةٌ أَوْ حاَئِطٌ. لاَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيْعَ حَتَّى يُؤْ ذِنَ شَرِيْكُهُ، فَإنْ شَاءَ تَرَكَ فَإِ ِذَا بَاعَ وَلَمْ يُؤْذِنْهُ فَهُوَ أَحَقٌّ بِهِ.
“ Rasulullah menetapkan syuf’ah untuk semua persekutuan yang belum di bagi, baik berbentuk rumah atau kebun; maka tidak di halalkan menjual sebelum meminta izin mitra. Jika ia menghendaki, maka ia boleh membelinya. Dan jika tidak, ia boleh meninggalkannya. Apabila penjualan berlangsung tanpa izin mitranya, maka mitra itulah yang paling berhak membelinya.
b. Diriwayatkan oleh Jabir bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ شِرْكُ فِي نَخْلٍ أَوْ رُبْعَةٍ فَلَيْسَ لَهُ أَن يَبِيْعَ حَتَّى يُؤْذِنُ شَرِيْكُهُ، فَإذَا رَضِىَ أَخَذ وَاِنْ كَرِهَ تَرَكَ.
“ barang siapa bermitra dalam pemilikan kebun kurma atau rumah, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum mitranya mengizinkannya. Apabila mitranya itu suka, maka ia boleh membelinya. Dan jika tidak, ia pun boleh meninggalkannya. “ ( HR Yahya bin Adam dari Zuhair, dari Zubair; sanad rawinya berdasarkan syarat muslim ).
Ibnu Hazm berkata, “ Tidak di halalkan bagi orang yang berkongsi menjual barang perkongsian sebelum ia tawarkan kepada mitranya atau mitra-mitra dalam perseroannya. Apabila mitra itu ingin menggambilnya, maka ia harus membayar kepada rekannya sesuai dengan harga yang biasa di bayar oleh pembeli lain, Karena patnernyalah yang lebih berhak membelinya.
Apabila ia tidak berminat untuk membeli barang tersebut, berarti haknya telah di jual kepada orang lain. Dan jika belum di tawarkan kepadanya seperti penjelasan sebelumnya, lalu bagiannya itu di jual kepada orang lain ( selain anggota perkongsian ), maka ia boleh memilih antara: menyetujui barang tersebut di jula kepada orang lain, atau membatalkannya dan mengambil bagiannya itu dengan bayaran harga sesuai dengan nilai penjualannya.”
Ibnu Qayyim mengatakan, “ Inilah ketentuan yang telah di tetapkan oleh Rasulullah saw. yang tidak ada alasan apa pun untuk membantahnya. Inilah kebijakan yang benar dan pasti.” Sementara itu, sebagian ulama’, termasuk imam Syafi’i, berpendapat bahwa perintah Rasulullah tersebut mengandung pengertian istihbab ( di sunnatkan ). Nawawi berkata, “ pengertian yang terkandung dalam hadits itu, menurut madzhab kami, adalah sunnat untuk member tahukan kepada rekan kongsi dan makruh melakukan penjualan sebelum memberitahukan kepadanya, bukan di haramkan.”
Ø Tipuan untuk Menggugurkan Syuf’ah
Tipuan untuk menggugurkan syuf’ah rekan kongsi tidak memperbolehkan, karna itu berarti menggugurkan hak orang muslim, sesuai dengan hadits yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah secara marfu’,
لاَ تَرْ تَكِبُوْا ماَ اْرتَكَبَ الْيَهُوْدُ فَيَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بأَدْنىَ الْحِيَلِ.
“ Janganlah kalian melakukan apa yang di lakukan oleh orang-orang Yahudi. Mereka menghalalkan apa yang di haramkan Allah dengan tipuan sehalus mungkin.”
Pendapat yang mengharamkan tipuan itu di anut oleh kalangan mazhab Maliki dan Ahmad. Sedangkn Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa tipu muslihat dalam syuf’ah di perbolehkan. Contoh tipu muslihat tersebut ialah seperti seorang mengaku sebagai miliknya sehingga dengan adanya pengakuan ini ia akan menjadi rekan kongsi, lalu di jual atau di hibahkan kepadanya.
3. Syarat-Syarat Syuf’ah
Adapun syarat-syarat syuf’ah adalah sebagai berikut,
1. Barang yang di syuf’ahkan adalah harta yang tak bergerak, seperti tanah atau rumah, sedangkan yang berkaitan dengan harta tetap, misalnya: tanaman, bangunan, pintu, atap rumah. Semua contoh tersebut yang termasuk dalam penjualan pada saat di alihkan kepemilikannya.
Dalilnya adalah hadits yang di riwayatkan dari Jabir,
َقَضَ رَسُوْلُ اللهُ صَلََّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم بِا لشُّفْعَةِ فِيْ كُلِّ ماَلَمْ تُقْسَمُ : رُبْعَتِ أوْ حائطٍـ ََ
“ Rasulullah menetapkan ketentuan syuf’ah untuk segala jenis barang yang tidak dapat dibagi-bagi seperti rumah atau kebun”
Demikianlah pendapat mayoritas ahli Fiqih. Sedangkan pendapat penduduk Mekah dan Zhahiriyah serta suatu riwayat dari Ahmad berbeda dengan pendapat tersebut. Mereka mengatakan, syuf’ah berlaku untuk segala jenis. Karena kemudharatan yang mungkin dapat terjadi pada rekan kongsi dalam jual beli barang tak bergerak dapat pula terjadi pada barang yang dapat di pindahkan. Mereka juga berdalil kepada hadist yang di riwayatkan oleh Jabir,
قَضَ رَسُوْلُ اللهُ صَلََّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم بِِا لشُّفْعَةِ فِيْ كُلِّ شَيْءِ.
“ Rasulullah telah menetapkan ketentuan syuf’ah untuk segala jenis barang.” Ibnul Qayyim berpendapat bahwa para perawi hadist di atas adalah tsiqat terpercaya”.
Adapun dalil lain adalah hadits riwayat Ibnul Abbas r.a. bahwa Nabi bersabda,
الشُّفْعَةِ فِيْ كُلِّ شَيْءِ
“ketentuan syuf’ah berlaku untuk segala jenis barang.”
Para perawi hadits ini pun tsiqat, tetapi haditsnya di nyatakan mursal.
Thahawi meriwayatkan hadist yang memperkuat status hadits Jabir tersebut dengan isnad yang dapat di percaya, dan Ibnul Hazm mendukung hadist itu. Ia berkata, “ syuf’ah wajib pada setiap penjualan barang kongsian yang tidak dapat di bagi antara kedua belah pihak atau lebih atas bentuk apa pun yang pada awalnya terbagi bagi, berupa tanah, pohon – satu atau lebih – budak pria, budak wanita, pedang, makanan, binatang atau apapun yang tidak dapat di jual.”
2. Pihak pembeli secara syuf’ah adalah mitra dalam barang kongsian tersebut. Disyaratkan pula bahwa perkongsian mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, dan tidak ada batasan yang jelas antara hak milik keduanya, hingga barang itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.
Diriwayatkan dari Jabir,
َقَضَ رَسُوْلُ اللهُ صَلََّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم بِا لشُّفْعَةِ فِيْ كُلِّ ماَلَمْ يَُقْسَمْ, فاَإِذَ وَقَعَةِ الْحُدُوْدُ بَيْنَهُمْ فَلآ شُّفْعَةُ
“ Rasulullah menetapkan syuf’ah untuk segala jenis yang belum di bagi. Apabila terjadi batasan hak dan telah jelas tindakannya, maka tidak ada syuf’ah.” ( HR AL-Khamsah)
Artinya. Syuf”ah berlaku untuk semua jenis barang kongsian (musytarak) yang merupakan milik bersama dan tidak dapat di tentukan bagian masing-masing. Namun, apabila telah ada batasan dan kejelasan hak milik masing-masing pihak, maka tidak ada syuf”ah.
Apabila syuf”ah menetapkan adanya bagian untuk rekan kongsian, maka syuf”ah juga menetapkan bagian yang tidak dapat di bagi dan mengharuskan bagi rekan kongsi membagi bagiannya, dengan syarat pembagian atas barang tersebut ada manfa’at sebagaimana sebelum ada pembagian. Oleh karena itu, syuf”ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dilakukan pembagian menjadi tidak bermanfaat. Pengarang kitab al- Manhaj menyebutkan, “ semua yang apabila di lakukan pembagian menjadi tidak bermanfaat, seperti kamar mandi dan lesung ( penumbuk padi ) maka menurut pendapat yang paling shohih, tidak berlaku syuf”ah.”
Imam Malik meriwayatkan dari Syibab bin Abi Salamah bin Abdurrahman dan Said bin al-Musayyab,
أَنَّ رَسُوْلُ اللهُ صَلََّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَضَ بِا لشُّفْعَةِ فِيْماَلَمْ يَُقْسَمْ بَيْنَ الشُّرَكاَءِ , فاَإِذَ وَقَعَةِ الْحُدُوْدُ بَيْنَهُمْ فَلآ شُّفْعَةُ
“ Rasulullah saw. menetapkan syuf’ah untuk barang yang belum di lakukan pembagian antara rekan perkongsian. Apabila terjadi pembatasan hak bagian antara mereka, maka tidak ada syuf”ah.”
Demikian pendapat Ali, Utsman, Umar, Said bin Musayyab, Sulaiman bin Yassar, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Malik, Syafi’, Auza’i, Ahmad, Ishaq, Ubaidillh bin Hasan, dan pengikut Imamiah. Di dalam kitab syarhus sunnah di sebutkan, “ para ulama’ bersepakat bahwa pemberlakuan ketentuan syuf’ah bagi rekan kongsi adalah seperempat dari pembagian apabila salah seorang di antara mereka menjual bagiannya sebelum di bagi. Adapun sisanya maka di berlakukan syuf’ah sebagaimana harga penjualan. Dan apabila ia menjual sesuatu yang telah berkembang maka pemberlakuannya sebagaimana nilainya.”
Menurut mereka pula, tetangga tidak berhak mendapat syuf’ah. Pendapat yang berbeda di kemukakan oleh para pengikut mazhab Hanafi. Mereka menyatakan bahwa syuf’ah itu bertingkat-tingkat. Urutannya adalah: rekan kongsi yang belum di bagi, lalu syarik muqasim ( mitra dalam pembagian hak barang ). Apabila masih ada sisa pembagian barang syirkah, barulah hak tersebut di berikan kepada tetangga yang terdekat.
Sebagian ulama’ mencoba menggambil jalan tenggah di antara dua pendapat yang bertetanggan itu. Menurut mereka, tetangga berhak atas syuf’ah untuk barang milik bersama, seperti jalan, air dan yang se misalnya. Pendapat ini menjadikan keadaan barang yang tidak dapat di bagi kepada tiap-tiap bagian hak milik. Dalilnya adalah hadits yang di riwayatkan oleh ashhabus sunan dengan isnad yang sahih dari Jabir bahw nabi saw bersabda,
الجَارَ أَحَقُّ بِشُفْعَةِ جاَرِهِ يَنْتَظِرُ بِهَا وَإنْ كَانَ غَائِبًا اِذَا كَانَ طَرِيْقُهُمَا وَاحِدًا
“ Tetangga merupakan orang yang paling berhak mendapatkan syuf’ah ( rumah ) milik tetangganya jika hanya ada satu jalan untuk menuju rumah keduanya itu. Hak syuf’ah tersebut tetap berlaku meski saat itu ia tidak berada di tempat.”
Ibnul Qayyim mengatakan, “ berdasarkan pendapat tersebut, maka hadits yang di riwayatkan Jabir menunjukkan pengertian secara tekstual dan kontekstual, sehingga menghilangkan perbedaan.” Lebih lanjut, ia mengatakan, “ ada tiga pendapat dalam mazhab Ahmad; yang paling moderat dan paling baik adalah pendapat ketiga.”
3. Barang syuf’ah bisa hilang status kepemilikannya melalui transaksi penjualan, atau transaksi lain yang semakna dengan “ penjualan “, seperti pernyataan sebagai jalan atau adanya faktor jinayat yang mengharuskan penjualan dengan cara penggantian tertentu, karena semu itu pada hakikatnya merupakan transaksi penjualan. Dengan demikian, tidak ada syuf’ah untuk barang yang berpindah kepemilikan melalui transaksi selain jual beli, seperti barang yang di hibahkan tanpa ganti, di wasiatkan atau di wariskan.
Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid di sebutkan bahwa terdapat perbedaan mengenai syuf’ah pada transaksi musaqat, yaitu penukaran tanah. Menurut Malik, dalam masalah itu ada tiga riwayat; membolehkan secara umum, melarang secara umum, dan melarang bagi rekan kongsi serta membolehkan bagi pihak lain.
4. Bagi pihak Syafi’ di haruskan untuk bersegera. Maksudnya, apabila pihak Syafi’ mengetahui adanya penjualan, maka wajib baginya meminta bagian dengan segera sepanjang memungkinkan. Jika Ia telah mengetahuinya lalu mengulur waktu tanpa adanya halangan, maka haknya menjadi gugur.
Apabila Syafi’ tidak meminta haknya dengan segera atau mengulurkan waktu permintaan, maka itu akan menimbulkan mudharat bagi pihak pembeli. Dia akan merasa bahwa kepemilikannya terhadap barang yang di jual belum bersifat tetap sehingga barang itu tidak mungkin di kelola atau di kembangkan, karena khawatir akan tersia-sia usahanya dan takut diambil dengan cara syuf’ah. Inilah pendapat Abu Hanifah mengenai hal tersebut. Imam Syafi’i dan Ahmad, dalam salah satu riwayat, menganggapnya sebagai dalil paling kuat.
Hal tersebut berlaku apabila Syafi’ ada di tempat, mengetahui penjualan barang itu, dan mengerti hukum. Jika Syafi’ tidak berada di tempat, atau belum mengetahui penjualan, atau tidak mengetahui bahwa bersikap lambat dapat menggugurkan syuf’ah, maka dalam keadaan seperti itu, haknya atas syuf’ah tidak menjadi gugur.
Ibnul Hazm dan beberapa ulama’ lain berpendapat bahwa “ penetapan syuf’ah itu di wajibkan oleh Allah. Karena itu, hak syuf’ah tidak boleh gugur hanya karna tertundanya permintaan, meski sampai delapan puluh tahun, kecuali jika Syafi’ sendiri yang menggugurkannya.” Ibnul Hazm juga berpendapat bahwa mengenai pendapat yang mengatakan, “ syuf’ah itu dilakukan oleh orang yang tidak benar. Ucapan itu tidak layak di kaitkan kepada Rasulullah saw.” Malik berkata, “ tidak di wajibkan untuk bersegera, tetapi waktu wajibnya luas.” Ibnul Rusyd berkata,” dalam penentun waktu ini, para ulama’ mazhab Maliki memiliki pendapat yang berbeda beda: apakah waktunya terbatas atau tidak.
Menurut sebuah pendapat, waktunya tidak terbatas; syuf’ah sama sekali tidak gugur, kecuali jika pada barang yang di beri terjadi perubahan besar dengan sepengetahuan dari Syafi’, ia ada dan mengetahui serta mendiamkannya. Menurut pendapat lain, jangka waktunya terbatas. Tentang batas waktu ini pun terdapat banyak perbedaan ada yang mengatakan satu tahun, ada yang mengatakan beberapa bulan, dan ada pula yang mengatakan lebih dari satu tahun. Bahkan dalam sebuah riwayat dari Malik, dinyatakan bahwa jangka waktu lima tahun tidak membuat syuf’ah gugur.
5. Syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah harta sesuai yang telah di akadkan. Lalu Syafi’ mengambil syuf’ah harga yang sama, apabila jual beli itu mitslian, atau dengan suatu nilai jika di hargakan.
Sebagai mana hadist marfu’ dari Jabir,
هُوَ أَحَقُّ بِهِ بِالثَّمَنِ (رواه الجوزْجانيْ)
“ Syafli’ lebih berhak dengan harga ( yang di tawarkan ) ( HR Al Jauzjani )
Apabila Syafi’ tidak mampu menyerahkan keseluruhan harga, maka gugurlah syuf’ah.Imam Maliki dan madzhab Hambali berpendapat, “ apabila harga itu di tangguhkan semua atau sebagiannya, maka pihak Syafi’ di bolehkan menangguhkan atau membayarnya secara bertahap, sesuai dengan kesepakatan akad. Itu dengan syarat, dia termasuk orang mampu atau datang dengan jaminan orang kaya. Jika tidak demikian, maka Ia wajib membayarnya pada saat itu juga, untuk menjaga hak pembeli.”
Imam Syafi’i dan kalangan penganut mazhab Hanafi berpendapat bahwa Syafi’ boleh menentukan pilihan; pabila pembayaran di segerakan, maka syuf’ah di segerakan. Jika tidak, maka di tangguhkn sampai waktu tertentu.
6. Syafi’ menggambil semua transaksi jual beli atas barang. Apabila Syafi’ hanya mengambil sebagian saja, maka gugur haknya secara keseluruhan.
Jikaa syuf’ah berlaku antara lebih dari satu syafi’ dan sebagian mereka melepaskannya, maka tidak ada cara lain kecuali mengambil keseluruhannya, sehingga semua transaksi jual beli tidak terpisah atas pembeli.
Ø Syuf’ah bagi Para Pemiliknya
Jika syuf’ah terjadi untuk lebih dari satu orang syafi’ dan masing-masing merupakan pemilik saham secara terpisah, maka setiap syafi’ mengambil barang jual beli tersebut sebatas jumlah sahamnya saja. Demikian pendapat malik serta pendapat yang paling sahih dari syafi’ dan Ahmad. Karena suatu hak yang dapat mendatangkan faidah hanya bergantung pada “ sebab kepemilikan “, sehingga harus di sesuaikan dengan batas kepemilikannya.
Menurut mazhab Hanafi dan Ibnul Hazm, pembagian tersebut di lakukan berdasarkan jumlah individu, Karena prinsip yang di pegang adalah persamaan dalam pemenuhan hak mereka.
Ø Pewaris Syuf’ah
Imam Malik dan Syafi’ berpendpat bahwa syuf’ah dapat di wariskan dan tidak batal karena kematian. Apabila seseorang memperoleh hak syuf’ah, kemudian ia meninggal dunia sebelum mengetahui haknya itu; atau ia sudah mengetahuinya lalu meninggal dunia sebelum sempat mewariskan haknya itu kepada ahli waris, maka hukumnya dianalogikan dengan kasus yang sama dalam persoalan harta benda.
Imam Ahmad mengatakan, “ hak syuf’ah tidak dapat di wariskan, keculi jika orang yang mati sempat mewariskannya,” sementara para ulama’ mazhab imam Hanafi mengatakan,” hak itu tidak dapat di wariskan dan juga tidak dapat di perjual belikan, sekalipun orang yang mati sempat mewariskannya, kecuali jika hakim telah menetapkan hal tersebut dan ia kemudian meninggal dunia.”
Ø Tindakan Pihak Pembeli
Pihak pembeli berhak melakukan transaksi apa pun atas barang yang telah di belinya sepanjang syafi’ belum meminta syuf’ahnya, karena ia bertindak terhadap hak miliknya sendiri. Apabila pihak pembeli menjualnya lagi, maka syafi’ berhak mendapatkan barang tersebut melalui salah satu dari dua penjualan itu.
Jika pihak pembeli menghibahkan, mewakafkan, menyedekahkan, atau menjadikannya sebagai sumbangan dan seumpamanya, maka tidak ada syuf’ah, karena akan menimbulkan kemudharatan akibat pelepasan kepemilikan tanpa ada pergantian. Kemudhratan tidak dapat di hilangkan dengan kemudharatan yang lain.
Akan tetapi, jika transaksi pihak pembeli itu di lakukan setelah syafi’ mengambil bagian syuf’ah, maka transaksi itu batal dan tidak sah, lantaran adanya hak pemindahan milik kepada syafi’ dengan permintaan.
Ø Pembeli Mendirikan Bangunan Sebelum Hak Syuf’ah
Apabila pihak pembeli mendirikan bangunan atau menanam pohon pada bagian syuf’ah sebelum di tentukan bagian syuf’ahnya, kemudin syafi’ meminta hak atas syuf’ah, maka menurut imam syafi’i dan Abu Hanifah, “ syuf’ah harus mengganti nilai bangunan serta nilai pohon apabila dalam keadan tercabut atau rusak.”
Imam Malik mengatakan, “ tidak ada syuf’ah, kecuali pihak pembeli memberikan senilai apa yang telah ia bangun dan tanami.”
Ø Berdamai Dalam Pengguguran Syuf’ah
Apabila seseorang berdamai dalam masalah syuf’ah atau menjualnya dari pembeli, maka tindakannya itu batal dan tidak sah serta menggugurkan hak syuf’ahnya. Ia juga di kenai kewajiban untuk mengembalikan apa yang telah ia ambil sebagai gantinya. Demikian menurut pendapat imam Syafi’i.
Menurut ketiga imam yang lain ( Hanafi, Maliki, dan Hambali ), hal semcam itu di bolehkan. Ia berhak memiliki apa yang telah diusahakanya.
B. Pembahasan Dalil-Dalil Syuf’ah
Suatu kemitraan dalam perjalanannya mungkin tidak selamanya dapat bersama. Apabila salah seorang dari mitra ingin melepaskan diri kepemilikan bersama dengan tidak menimbulkan sesuatu yang tiak enak dikemudian hari. Oleh sebab itu, Rasulullah saw telah memberikan solusi untuk permasalahan tersebut dengan memberikan hak Syuf’ah kepada rekan kerjanya, bukan kepada orang lain, dalam hadis berikut:
اَلْجَارُ أَحَقُّ بِشُفْعَةِ جَارِه, يُنْتَظَر ِ وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلمُ بِهَا - وَإِنْ كَانَ غَائِبًا - إِذَا كَانَ طَرِيقُهُمَا وَاحِدًا ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
1. Arti Hadis
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga itu lebih berhak dengan syuf'ah tetangganya, ia dinanti -walaupun sedang pergi- jika jalan mereka satu." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Para perawinya dapat dipercaya.[9]
2. Kata Kunci
الخار: orang yang secara bersama-sama memiliki sesuatu atau orang terdekat atau orang yang memiliki sesuatu secara bersamaan.
شفعه: penggabungan harta / pelepasan hak salah satu.
واحد: harta atau barang tersebut masih satu belum pisah.
3. Syarah Hadis
Syuf’ah merupakan aturan yang ditetapkan oleh Islam dalam menyelesaikan masalah pemindahan hak yang menjadi obyek syirkah atau sulit dibagi. Dalam milik bersama atau usaha bersama ada ketentuan khusus yang diberikan Rasulullah saw ketika salah satu pihak berkeinginan untuk melepaskan miliknya atau bagiannya. Kalaupun bias dibagi maka obyek tersebut tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Adanya klausa ma lam yuqsam didalam hadis lain menunjukkan bahwa syuf’ah dapat diberlakukan dalam semua obyek, baik hewan, benda tetap, atau benda bergerak. Didalam hadis diatas bahwa yang mendapat hak syuf’ah adalah al-jar. Adanya perbedaan pemahaman dengan kata al-jar yang bias dimaknai tetangga tersebut, apakah hak syuf’ah diberikan karena kedekatan atau karena kebersamaan dalam kepemilikan. Dilihat dari konteksnya kalau mengaitkan dengan hadis lain yang mengatur syuf’ah dapat diketahui bahwa al-jar bermakna orang yang sama-sama bermitra, atau sama-sama memiliki.
Dengan demikian jelas apabila salah seorang pemilik barang yang dimiliki bersama bermaksud memindahkan haknya maka yang mendapatkan hak untuk membeli pertama adalah mitranya Dalam hadis lain juga dijelaskan bahwa dalam syuf’ah, orang yang berhak untuk mengganti (membeli) harta bagian dari mitranya yang akan keluar dari kemitraan.
Berikut beberapa hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut:
وَعَنْ أَبِي رَافِعٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلْجَارُ أَحَقُّ بِصَقَبِهِ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ, وَفِيهِ قِصَّةٌ[10]
Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga itu lebih berhak karena kedekatannya." Riwayat Bukhari dan Hakim. Hadits tersebut mempunyai kisah.
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( جَارُ اَلدَّارِ أَحَقُّ بِالدَّارِ ) رَوَاهُ النَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَلَهُ عِلَّةٌ[11]
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga sebelah rumah lebih berhak terhadap rumah itu." Riwayat Nasa'i, dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan ia mempunyai illah.
وَفِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ: ( اَلشُّفْعَةُ فِي كُلِّ شِرْكٍ: أَرْضٍ, أَوْ رَبْعٍ, أَوْ حَائِطٍ, لَا يَصْلُحُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يَعْرِضَ عَلَى شَرِيكِهِ ) وَفِي رِوَايَةِ اَلطَّحَاوِيِّ: قَضَى اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ شَيْءٍ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ[12]
Menurut riwayat Muslim: Syu'fah itu berlaku dalam setiap persekutuan, baik dalam tanah, kampung, atau kebun. Tidak boleh - dalam suatu lafadz- tidak halal menjualnya hingga ditawarkan kepada sekutunya. Menurut riwayat Thahawi: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan berlakunya Syuf'ah dalam segala sesuatu. Para perawinya dapat dipercaya.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( قَضَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ, فَإِذَا وَقَعَتِ اَلْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ اَلطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ[13]
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah menetapkan berlakunya syuf'ah (hak membeli bagian dari dua orang yang bersekutu) pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf'ah. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
. Tetangga merupakan orang yang paling berhak mendapatkan syuf’ah ( rumah ) milik tetangganya jika hanya ada satu jalan untuk menuju rumah keduanya itu. Hak syuf’ah tersebut tetap berlaku meski saat itu ia tidak berada di tempat.Ibnu Qayyim mengatakan:“ berdasarkan pendapat tersebut, maka hadits yang di riwayatkan Jabir menunjukkan pengertian secara tekstual dan kontekstual, sehingga menghilangkan perbedaan.” Lebih lanjut, ia mengatakan, “ ada tiga pendapat dalam mazhab Ahmad; yang paling moderat dan paling baik adalah pendapat ketiga.” Ketiga, barang syuf’ah bisa hilang status kepemilikannya melalui transaksi penjualan, atau transaksi lain yang semakna dengan “ penjualan “, seperti pernyataan sebagai jalan atau adanya faktor jinayat yang mengharuskan penjualan dengan cara penggantian tertentu, karena semu itu pada hakikatnya merupakan transaksi penjualan. Dengan demikian, tidak ada syuf’ah untuk barang yang berpindah kepemilikan melalui transaksi selain jual beli, seperti barang yang di hibahkan tanpa ganti, diwasiatkan atau di wariskan. Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid di sebutkan bahwa terdapat perbedaan mengenai syuf’ah pada transaksi musaqat, yaitu penukaran tanah.
Menurut Malik, dalam masalah itu ada tiga riwayat; membolehkan secara umum, melarang secara umum, dan melarang bagi rekan kongsi serta membolehkan bagi pihak lain. Keempat, bagi pihak Syafi’ di haruskan untuk bersegera. Maksudnya, apabila pihak Syafi’ mengetahui adanya penjualan, maka wajib baginya meminta bagian dengan segera sepanjang memungkinkan. Jika Ia telah mengetahuinya lalu mengulur waktu tanpa adanya halangan, maka haknya menjadi gugur.
Di dalam kitab syarhus sunnah di sebutkan, “ para ulama’ bersepakat bahwa pemberlakuan ketentuan syuf’ah bagi rekan kongsi adalah seperempat dari pembagian apabila salah seorang di antara mereka menjual bagiannya sebelum di bagi. Adapun sisanya maka di berlakukan syuf’ah sebagaimana harga penjualan. Dan apabila ia menjual sesuatu yang telah berkembang maka pemberlakuannya sebagaimana nilainya.
Menurut mereka pula, tetangga tidak berhak mendapat syuf’ah. Pendapat yang berbeda di kemukakan oleh para pengikut mazhab Hanafi. Mereka menyatakan bahwa syuf’ah itu bertingkat-tingkat. Urutannya adalah: rekan kongsi yang belum di bagi, lalu syarik muqasim ( mitra dalam pembagian hak barang ). Apabila masih ada sisa pembagian barang syirkah, barulah hak tersebut di berikan kepada tetangga yang terdekat. Sebagian ulama mencoba menggambil jalan tenggah di antara dua pendapat yang bertetanggan itu. Menurut mereka, tetangga berhak atas syuf’ah untuk barang milik bersama, seperti jalan, air dan yang se misalnya. Pendapat ini menjadikan keadaan barang yang tidak dapat di bagi kepada tiap-tiap bagian hak milik.
Manakala di antara dua orang bertetangga ada hak milik bersama, misalnya berupa jalan, ataupun air, maka bagi masing-masing memiliki hak syuf’ah yang harus ditunaikan rekan sekongsi. Jadi, seorang di antara keduanya tidak boleh menjual hak milik bersama sebelum mendapat izin dari tetangganya; jika ia terlanjur menjualnya tanpa izin sang tetangga, maka tetangga tersebut tetap lebih berhak membeli barang yang dijual itu.[14]
Didasarkan kepada kepentingan kedua belah pihak ( yang berhak membeli pertama), menurut analisis penulis[15], penetapan pihak yang mendapat prioritas dalam hadis karena beberapa hal, yaitu:
1) Bagaimanapun syirkah yang sudah terbentuk didasari atas komitmen yang sudah disepakati bersama. Akan berbeda halnya dengan adanya pihak lain yang tidak ikut dalam komitmen awal.
2) Menunjukkan bahwa objek yang akan dipindahkan tersebut tidak mutlak milik pribadi, karena ada hak orang lain didalamnya. Kepemilikan yang tidak penuh ini mengaharuskan pemilik untuk memberikan kesempatan pertama kepada pemilik lainnya, tentu saja dengan penggantian yang standar.
Hal itu dapat dilihat dalam hadis diatas yang secara tegas ditetapkan bahwa pihak yang akan memindahkan haknya harus menunggu yang lainnya jika ia sedang tidak ditempat. Ketentuan ini memberikan gambaran bahwa kepemilikan bersama itulah yang menyebabkan hak syuf’ah tersebut. Meski hanya penggantian kepemilikan kepada orang tertentu, antara pihak yang bermitra belum tentu cocok, apalagi jika ditetapkan harus menjual kepada orang lain.
Klausa diujung hadis menunjukan bahwa syuf’ahjuga diberlakukan pada objek yang bagiannya termasuk milik bersama. Hak prioritas tersebut diberikan kepada mitra karena menghindar dari kemudaratan. Barang yang dimiliki bersama, tidak sepenuhnya merupakan milik yang dapat secara bebas dipindah-tangankan. Jika bagian dari milik bersama akan dijual yang pertama ditawari adalah mitra. Ketika mitra tidak mau membeli barulah ditawarkan kepada orang lain, yang dapat menggantikan posisinya. Dalam keadaan seperti ini, yang akan bermitra adalah orang yang akan membeli bagian tadi. Oleh sebab itu, ada keharusan memberitahu mitra dalam hadis untuk memberikan jaminan kepada mitra agar dapat melakukan kerja sama dengan orang yang disukainya.
4. Kandungan Hadis
a. Islam memberikan hak kepada orang yang mempunyai kepemilikan bersama untuk memperoleh prioritas pertama penawaran jika salah satu pihak akan melepaskan kepemilikan.
b. Syuf’ah juga diberikan kepada tetangga terdekat dengan obyek jual beli jika barang yang dijual memiliki unsur adanya kebersamaan pemanfaatan.
c. Menjaga hubungan baik antara orang yang pernah bersama.
d. Tidak boleh bagi sekutu menjual bagiannya sampai memberitahukan atau menawarkan kepada sekutunya. Jika ia telah menjualnya tanpa memberitahukan lebih dulu, maka kawan sekutunya lebih berhak terhadapnya.
e. Syuf’ah berlaku bagi para sekutu sesuai kadar kepemilikan mereka. Siapa yang berhak mendapatkan syuf’ah, maka ia mengambilnya dengan harga penjualannya baik secara tempo maupun kontan.
f. Syuf’ah berlaku karena bagian yang berpindah dari seorang sekutu merupakan jual beli yang tegas atau semakna dengannya. Oleh karena itu tidak ada syuf’ah pada sesuatu yang berpindah dari milik sekutu tanpa ada jual beli, seperti dihibahkan tanpa ganti rugi, atau diwarisi atau diwasiati.
g. Syuf’ah bisa dituntut segera setelah ia mengetahui sesuatu dijual. Jika tidak dituntut sewaktu dijual, maka menjadi batal. Kecuali jika ia belum tahu, maka tetap berlaku syuf’ahnya. Demikian pula masih berlaku, jika ia menundanya karena adanya udzur, seperti tidak tahu hukumnya atau udzur lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Syuf’ah adalah hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan. Syuf’ah adalah hak seorang partner untuk membeli secara paksa bagian partner lain yang telah dijual kepada orang lain dengan harga yang sesuai.
Dalam syuf’ah dianjurkan kepada orang –orang yang bermitra yang hendak menjual bagiannya untuk mendatangi rekannya untuk menggabungkan diri tentang apa yang akan dijualnya. Kemudian penjual akan mempriorotaskan kepada orang yang lebih dekat hubungannya dari pada orang yang jauh.
Adapun rukun syuf’ah yaitu:
1. Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang syuf’ah
2. Syafi’, yaitu orang yang mengambil atau menerima syuf’ah.
3. Masyfu’ min hu , yaitu orang tempat mengambil syuf’ah
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi, FiqhMmuamalah, cet. 3 Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2005
Harun, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, juz 6
Drs. Muh. Mahfuddin Aladip, Terjemah Bulughul Maram, Semarang: cv Toha Putra, 1985. Hal. 451
Prof. Dr. Hj. Enizar, M.A , Syarah hadis ekonomi,
Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah: Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana 2012 hal. 316
Abdullah Muhammad ath-Thayyar hal 369
http://www.alquran-sunnah.com/kitab/bulughul-maram/
http://obaybhochept.blogspot.com/2012/11/1l-syuf’ah.html diunduh pada 29 November 2012
http://assyiddatiy.wordpress.com/2010/11/24/syufah-dan-rohn/ diunduh 24 November 2010
http://mtf-online.com/tafaqquh-fiddin/fiqih-muamalah/pengertian-syufah-dan-dalil-dalil-disyariatkannya/#.UlEqXlOmi_I diunduh pada 26 juni 2013
[1]http://obaybhochept.blogspot.com/2012/11/1l-syuf’ah.html diunduh pada 29 November 2012
[2] ibid
[3] http://assyiddatiy.wordpress.com/2010/11/24/syufah-dan-rohn/ diunduh 24 November 2010
[4] http://mtf-online.com/tafaqquh-fiddin/fiqih-muamalah/pengertian-syufah-dan-dalil-dalil-disyariatkannya/#.UlEqXlOmi_I diunduh pada 26 juni 2013
[5] Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, juz 6 h. 77
[6] Prof. Dr. Hj. Enizar, M.A , Syarah hadis ekonomi,
[7] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah: Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana 2012 hal. 316
[8] Abdullah Muhammad ath-Thayyar hal 369
[9]Drs. Muh. Mahfuddin Aladip, Terjemah Bulughul Maram, Semarang: cv Toha Putra, 1985. Hal. 451
[10] http://www.alquran-sunnah.com/kitab/bulughul-maram/ Hadits No. 926
[11] ibid Hadits No. 925
[12] Ibid Hadits No. 924
[13] Ibid Hadits No. 923
[14] http://alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/290-bab-syufah.html di unduh pada 23 Mei 2007
[15] Prof. DR. Enizar, M.A, Syarah Hadis Ekonomi..
http://salehfaisal.blogspot.com/ »
Hadis ekonomi 1
» Syuf'ah
Syuf'ah
Diposkan oleh
faisalsaleh
Tuesday, June 24, 2014
Terimakasih atas kunjungan Kamu Karena telah Mau membaca artikel Syuf'ah. Tapi Kurang Lengkap Rasanya Jika Kunjunganmu di Blog ini Tanpa Meninggalkan Komentar, untuk Itu Silahkan Berikan Kritik dan saran Pada Kotak Komentar di bawah. Kamu boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikelSyuf'ah ini jika memang bermanfaat bagi kamu, tapi jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya. Terima Kasih.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment